Jumat, 23 Oktober 2015

Seting Prilaku (Behavior Setting)



1. Pengertian Setting Prilaku
Dalam pemenuhan kebutuhan manusia yang sesuai diuraikan Maslov dalam hierarki kebutuhannya tersebut, terlihat adanya pola prilaku para penggunanya. Barker (1968) seorang tokoh psikologi ekologi yang mengembangkan penelitian prilaku individual dilapangan, menelusuripola prilaku manusia berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya, dan melahirkan konsep “tatar atur” (behavior seting).
Menurut Setiawan (1995) penggunaan istilah setting dipakai dalam kajian arsitektur lingkungan (fisik) dan perilaku, yang menunjuk pada hubungan integrasi antara ruang (lingkungan fisik secara spasial) dengan segala aktivitas individu/sekelompok individu dalam kurun waktu tertentu.
Dimana penggunaan istilah setting lebih menunjuk pada unsur kegiatan manusia yang tidak nampak. Menurut Schoggen dalam Sarwono (2001), pengertian setting diartikan sebagai tatanan suatu lingkungan yang dapat mempengaruhi perilaku manusia, artinya di tempat yang sama, perilaku manusia dapat berbeda kalau tatanannya berbeda.
Menurut Barker (1968) dalam Laurens (2004:131), behaviour setting di sebut juga dengan “tatar perilaku” yaitu pola perilaku manusia yang berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya. Senada dengan Haviland (1967) dalam Laurens (2004:131) bahwa tatar perilaku sama dengan “ruang aktivitas” untuk menggambarkan suatu unit hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur.
            Barker dan Wright (1968) dalam Laurens (2005:174) juga menyebutkan dan memakai istilah behavior setting  untuk menjelaskan tentang kombinasi prilaku dan mileniu tertentu. Seperti unit dasar ilmu lain,misalnya sel untuk biologi, atau planet untuk astronomi,  behavior setting  berdiri sendiri secara independen, tidak terkait dengan investigator. Akan tetapi untuk tujuan ilmiah, diperlukan definisi yang lebih akurat, terukur, dan terutama mengetahui derajat ketergantungan antarunit.
Barker dan Wright (1968) dalam Laurens (2005:175) mengungkapkan ada kelengkapan kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah entitas, agar dapat dikatakan sebagai sebuah behaviour setting yang merupakan suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dengan kriteria sebagai berikut :

1.                  Terdapat suatu aktifitas berulang, berupa suatu pola prilaku (standing patern of behavior). Dapat terdiri atas satu atau lebih pola prilaku ekstraindividual.
2.                  Dengan tata lingkungan tertentu (Circumfacent milieu), mileu ini berkaitan dengan pola prilaku.
3.                  Membentuk suatu hubungan yang sama antar keduanya, (synomorphy)
4.                  Dilakukan pada priode waktu tertentu.

Menurut Laurens (2005:175) istilah ekstraindividual menunjukan fakta operasional bahwa sebuah setting tidak tergantung hanya pada seorang manusia atau objek. Yang penting adalah konfigurasi secara keseluruhan, bagian demi bagian.
 Laurens (2005:176) menjelaskan istilah circumjacent milieu merujuk pada batas fisik dan tempolar dari sebuah seting. Setiap  behavior setting  berbeda dari setting  menurut waktu dan ruang.
Sementara itu, synomorphic yang berarti struktur yang sama menurut Laurens (2005:176) menunjukkan adanya hubungan antara mileu dan prilaku. Batas-batas  mileu  dan bagian internal sebuah setiing tidak ditentukan secara sembarangan, tetapi merupakan sesuatu yang harus selaras dengan pola prilaku ekstraindividual dan setting.
Menurut Laurens (2005:176) ketidakhadiran suatu bagian memang menimbulkan perbedaan dalam hal fungsi suatu setting, namun tidak berarti bahwa menghalangi terjadinya sebuah behavior setting.  Dengan demikian, berarti suatu tatanan fisik tertentu bias menjadi bagian dari beberapa behavior setting apabila aktivitas yang terjadi berbeda-beda dan pada waktu yang berbeda pula. Melalui definisi tersebut terlihat bahwa setiap kriteria meunjukan atribut tertentu dari sebuah setting.
Istilah Behavior Setting kemudian dijabarkan dalam 2 istilah oleh Barker dalam Laurens (2005:184) yakni system of setting dan system of activity, dimana keterkaitan antara keduanya membentuk satu behavior setting tertentu. System of setting atau system tempat atau ruang diartikan sebagai rangkaian unsur – unsur fisik dan spasial yang mempunyai hubungan tertentu dan terkait hingga dapat dipakai untuk suatu kegiatan tertentu. Sementara System of activity atau system kegiatan diartikan sebagai suatu rangkaian perilaku yang secara sengaja dilakukan.

2. Sistem Aktivitas
            Menurut Chapin dan Brail (1969;Porteous,1977) dalam Laurens (2005:184) sistem aktivitas dalam sebuah lingkungan terbentuk dari rangkaian sejumlah behavior setting. Sistem aktivitas seseorang menggambarkan motivasi, sikap, dan pengetahuannya tentang dunia dengan batasan penghasilan, kompetisi, dan nilai-nilai budaya yang bersangkutan.
            Laurens (2005:184) menyebutkan dalam pengamatan behavior setting, dapat dilakukan analisis melalui beberapa cara, antara lain sebagai berikut,
a.       Mengugunakan Time Budget
Time Budget memungkinkan orang mengurai/mendekomposisikan suatu aktivitas sehari-hari, aktivitas mingguan atau musiman, kedalam seperangkat behavior setting  yang meliputi hari kerja mereka, atau gaya hidup mereka (Michelson dan Reed, 1975). Fungsi dan time budget adalah memperlihatkan bagaimana seseorang individu mengonsumsi atau menggunakan waktunya.
                                i.            Jumlah waktu yang dialokasikan untuk kegiatan tertentu, dengan variasi waktu dalam sehari, seminggu, atau semusim.
                              ii.            Frekuensi dari aktivitas dan jenis aktivitas yang dilakukan.
                            iii.            Pola tipikal dari aktivitas yang dilakukan.
b.      Melakukan Sensus
Sensus adalah istilah yang dikemukakan oleh para ahli psikologi lingkungan untuk menggambaan proses pembelajaran semua aktivitas seorang individu dalam waktu tertentu dengan metode pengamatan. Seperti yang dilakukan Barker dan Wright dengan mengamati perilaku seseorang anak sepanjang hari. Cara ini dipakai dengan tujuan mendapatkan pengertian mengenai, misalnya bagaimana paa pekerja menggunakan bangunan.
            Untuk mendapatkan data mengenai pola interaksi dalam lingkungan tersebut, dilakukan sejumlah pengamatan yang membandingkan bagian demi bagian dalam sebuah lingkungan, atau membanndingkan lingkungan yang sama pada waktu yang berbeda, dan memandingkan lingkungan yang berbeda sama sekali. Biasanya tahun dilakukannya survey atau pengamatan meru[akan suatu interval tertentu untuk mendapatkan data rata – rata dari fluktuasi perubahan yang mungkin terjadi karena adanya pergantian penghuni, musim, atau factor lain.
            Hal yang dapat mewakili data pengamatan behavior Setting meliputi :
                                                        i.            Manusia (siapa yang dating, ke mana dan mengapa, siapa yang mengendalikan setting?);
                                                      ii.            Karakteristik ukuran (berapa banyak orang per jam ada di dalam setting bagaimana ukuran setting secara fisik, berapa sering dan berapa lama setting  itu ada?);
                                                    iii.            Objek ( ada berapa banyak objek dan apa jenis objek yang dipakai dalam Setting, kemungkinan apa saja yang ada bagi stimulasi, respon, dan adaptasi?);
                                                    iv.            Pola aksi (aktivitas apa saja yang terjadi di sana, seberapa sering terjadi pengulangan yang dilakukan orang?).
Setiap setting diamati secara individual. Orang – orang yang memiliki informasi dan pengetahuan dapat dimintai keterangannya mengenai setting yang bersangkuta. Adanya sampel dari semua setting meruakan kekuatan metode ini karena dapat menghindari terjadinya masalah sampling. Namun, sealigus juga merupakan kelemahan metode ini karena menjadi sangat sulit untuk mendekati semua lingkungan.
Dari observasi bise diketahui kondisi lingkungan secara fisik, seperti jumlah, jenis tatanan perabot yang ada. Melalui pengukuran yang lebih rinci bias diketahui keadaan ambiennya seperti suhu ruangan, kelembaban, pencahayaan ruangan, atau tingkat kebisingan.
Analisis sistem fungsional, termasuk aktivitas dan komponen fisik. Melalui pengamatan dapat diperoleh data bagaimana ruang digunakan dan fungsi – fungsi apa saja yang ada. Seperti terlihat disini, ruang digunakan sebagai kantor dan gudang. Melalui pengamatan yang lebih tajam, dapat dikenali yang manakah aktivitas yang lebih dominan.
Dengan tatanan kantor yang terbuka, ketika seseorang staf masuk membawa sesuatu atau mendiskusikan suatu dengan seseorang. Staf lain telihat terganggu. Melalui pengamatan juga dapat diketahui bagaimana interaksi antara kedua staf tersebut.



c.       Studi Asal dan Tujuan
Studi asal dan tujuan adalah suatu studi yang mengamati, mengidentifikasi awal dan akhir dari pola – pola pergeraan. Studi semacam ini menggambarkan pola perilaku yang sesungguhnya terjadi, bukan hanya seperti yang dibayangkan oleh arsitek, melainkan yang membentuk kehidupan seseorang atau sekelompok orang. Studi asal dan tujuan merupakan pendekatan akro yang dapat diterapkan pada skala tahun atau skala bangunan.
Rancangan tang dibuat semata – mata berdasarkan imajinasi arsitek sering kali menjadi rancangan yang ideal bagi arsitek, tetapi mungkin miskin akan affordances dan peluang – peluang bagi seseorang pengguna untuk memenuhi kebutuhannya.
Citra suatu tempat dapat dipelajari dari komponen visual yang membentuk citra atau aura tempat ataulingkungan tersebut. Bagaimana persepsi pengguna terhadap lingkungan dan memberi respons terhadap affordances yang ada. Melalui studi asal dan tujuan ini, yang dapat dilakukan dengan bantuan fotografi atau film, dapat dibuat rekaman untuk mengungkapkan pengalamanvisual dan spasial dan mempelajari sekuen ruang serta perilaku pengguna dalam ruang secara runtut dan logis.
  
3. Sistem Setting
            Menurut Barker (1968), dalam Laurens (2004:131), behaviour setting di sebut juga dengan “tatar perilaku” yaitu pola perilaku manusia yang berkaitan dengan tatanan lingkungan fisiknya. Senada dengan Haviland (1967) dalam Laurens (2004:131) bahwa tatar perilaku sama dengan “ruang aktivitas” untuk menggambarkan suatu unit hubungan antara perilaku dan lingkungan bagi perancangan arsitektur.

 Barker dan Wright (1968) dalam Laurens (2004:133) mengungkapkan ada kelengkapan kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah entitas, agar dapat dikatakan sebagai sebuah behaviour setting yang merupakan suatu kombinasi yang stabil antara aktivitas, tempat, dengan kriteria sebagai berikut :

  1. Terdapat suatu aktivitas yang berulang, berupa suatu pola perilaku (standing pattern of behaviour)
  2. Tata lingkungan tertentu (circumjacent milieu), milieu berkaitan dengan pola perilaku.
  3. Membentuk suatu hubungan yang sama antar keduanya, (synomorphy)
  4. Dilakukan pada priode waktu tertentu.

Selanjutnya yang harus dipenuhi oleh sebuah entitas untuk menjadi sebuah behaviour setting menurut Laurens (2004:136) adalah :
  1. Aktivitas
  2. Penghuni 
  3. Kepemimpinan, Untuk mengetahui posisi fungsional penghuni, untuk mengetahui peran sosialnya yang ada didalam komunitas tersebut.
  4. Populasi, Sebuah setting dapat mempunyai banyak atau sedikit partisipan. Komunitas dianggap lebih baik apabila memiliki banyak setting.
  5. Ruang, Ruang tempat terjadinya setting tertentu sangat beragam, bisa di ruang terbuka atau ruang tertutup.
  6. Waktu, Kelangsungan sebuah setting dapat terjadi secara rutin atau sewaktu-waktu. Durasi pada setting yang sama dapat berlangsung sesaat atau terus-menerus sepanjang tahun.
  7. Objek
  8. Mekanisme Pelaku

Terdapat dua model pengamatan atau observasi dalam penelitian arsitektur dan perilaku manusia, yaitu model dengan metoda place centered map dan person centered map.

1.    Metoda Place Centered Mapping
Menuurt haryadi (1995), metode atau teknik ini adalah pemetaan berdasarkan tempat dimana kegiatan berlangsung, bertujuan untuk mengetahu bagaimana manusia atau kelompok manusia memanfaatkan, menggunakan, atau mengakomodasi perilakunya dalam suatu situasi waktu dan tempat tertentu. Perhatian dari teknik atau metoda ini adalah suatu tempat yang spesifik baik kecil, atau pun besar dalam satu setting yang tetap.

2.    Metoda Person Centered Mapping
Salah satu metoda penelitian arsitektur penelitian dan perilaku yang dikenalkan oleh Sommer (1980), yaitu metoda person centered mapping. Metoda ini menekankan pada pergerakan manusia pada periode waktu-waktu tertentu, dimana teknik ini berkaitan dengan tidak hanya satu tempat atau lokasi, akan tetapi beberapa tempat atau lokasi. Metoda ini mengharuskan peneliti berhadapan dengan seseorang atau kelompok manusia yang khusus diamati. 

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menggunakan teknik ini adalah sebagai berikut :

a.       Menentukan jenis sampel person yang akan diamati  (aktor atau penggunaan ruang secara individu)
b.      Menentukan waktu pengamatan (pagi, siang dan malam)
c.       Mengamati aktivitas yang dilakukan dari masing-masing sampel person
d.      Mencatat aktivitas sampel person yang diamati dalam matriks atau table.

Metoda person centered mapping dilakukan dengan membuat alur sirkulasi sampel person di area yang diamati atau di peta untuk mengetahui dari mana dan kemana orang pergi dengan mengidentifikasi arah lintasan pergerakannya. Metoda lain yang dikenalkan oleh Sommer adalah Phsycal traces atau jejak-jejak fisik. Pengamatan terhadap jejak-jejak fisik hasilnya dapat disajikan dalam bentuk rekaman tanda-tanda yang ditinggalkan oleh kegiatan yang berlangsung sebelumnya.



4. Hubungan Antara Setting dan Prilaku Manusia
Aktivitas manusia sebagai wujud dari perilaku yang ditujukan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh tatanan (setting) fisik yang terdapat dalam ruang yang menjadi wadahnya, sehingga untuk memenuhi hal tersebut di butuhkan adanya (Widley dan scheid dalam Weisman, 1987) 
1.      Kenyamanan, Menyangkut keadaan lingkungan yang memberikan rasa sesuai dengan panca indra
2.      Aksesibilitas, menyangkut kemudahan bergerak melalui dan menggunakan lingkungan sehingga sirkulasi menjadi lancar dan tidak menyulitkan pemakai.
3.      Legibilitas, menyangkut kemudahan bagi pemakai untuk dapat mengenal dan memahami elemen-elemen kunci dan hubungannya dalam suatu lingkungan yang menyebabkan orang tersebut menemukan arah atau jalan.
4.      Kontrol, menyangkut kondisi suatu lingkungan untuk mewujudkan personalitas, menciptakan teritori dan membatasi suatu ruang.
5.      Teritorialitas, menyangkut suatu pola tingkah laku yang ada hubungannya dengan kepemilikan atau hak seseorang atau sekelompok orang atas suatu tempat. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar (Holahan,1982 dalam Hartanti 1997)
6.      Keamanan, menyangkut rasa aman terhadap berbagai gangguan yang ada baik dari dalam maupun dari luar.

Ruang yang menjadi wadah dari aktivitas di upayakan untuk memenuhi kemungkinan kebutuhan yang diperlukan manusia, yang artinya menyediakan ruang yang memberikan kepuasan bagi pemakainya. Setting terkait langsung dengan aktivitas manusia sehingga dengan mengidentifikasi sistem aktivitas yang terjadi dalam suatu ruang akan teridentifikasi pula sistem settingnya yang terkait dengan keberadaan elemen dalam ruang. (Rapoport,1991)

1 komentar: