Latar Belakang
Dalam
tulisan-tulisannya, tampak hasrat dan kepeduliannya pada arsitektur Indonesia.
Di sisi lain, wawasannya yang luas, yang tidak terbatas pada arsitektur melulu,
membuat narasi tulisannya menari lincah. Dia Eko Budiharjo (1944-2014).
Eko
menempuh studi sarjananya di jurusan Arsitektur Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta, dan melanjutkan studi masternya di bidang Perencanaan Kota di
University of Wales Institute of Science and Technology, Inggris. Ia mengajar
di Universitas Diponegoro, Semarang, dan pernah menjabat sebagai Rektor selama
tahun 1998-2006.
Ia
menaruh perhatian pada publikasi arsitektur. Selain banyak menulis buku
arsitektur, ia juga banyak menyunting buku kumpulan tulisan hasil pemikiran
para arsitek Indonesia. “Begitu banyak karya arsitektur yang muncul di
persada bumi Indonesia, tetapi begitu sedikit yang menularkan konsep-konsep
pemikiran dan proses terjadinya karya tersebut,” tulisnya ketika mengantarkan
salah satu bukunya.
Sindrom
Columbus Melanda Arsitek adalah
tulisannya untuk Kongres Nasional III Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Jakarta
14-16 Maret 1985. Tulisan tersebut juga dimuat di harian Kompas, 16 Maret 1985.
Dalam tulisan itu, ia menyebutkan bahwa perancangan arsitektur saat itu seperti
terjangkit Sindrom Columbus. Christopher Columbus, kita tahu, adalah orang yang
ambisius, namun tidak betul-betul tahu ia di mana—sampai ajalnya, ia masih
mengira Benua Amerika adalah Asia. Eko berkata, “Banyak arsitek yang bergulat
dan main cinta dengan dirinya sendiri.”
Di
tulisan ini juga, tampak pandangannya bahwa arsitektur bukan hanya urusan
programatis ataupun kenikmatan visual, melainkan juga perkara persentuhan
dengan jiwa. Ia juga menempatkan arsitektur secara proporsional, tidak
semata-mata sebagai ilmu yang eksklusif hanya untuk kaum borjuis, melainkan
juga untuk rakyat kecil. Di akhir tulisan, ia menyampaikan betapa pentingnya
mengembangkan apresiasi dan kritik arsitektur, secara terbuka, untuk menghindari
kemandekan wacana, juga sebagai jawaban atas sindrom yang ia sebutkan.
Sindrom
Columbus Melanda Arsitek
Eko
Budiharjo
2.1.
Sindrome Colombus
Dewasa ini
perancangan arsitektur merupakan contoh (jelek) yang paling baik dari Sindrom Columbus:
penuh ledakan ambisi untuk setiap kali menemukan Amerika, atau, menciptakan
kembali roda bulat bundar. Begitu siratan tuduhan Prof. Amos Rapoport dalam
tulisannya tentang pendidikan arsitektur.
Kabar
buruk yang slentang-slenting sampai ke rongga telinga dari Eropa, hampir senada
juga. Dikisahkan, banyak bangunan baru, modern, dan purna-modern, yang tidak
bisa ditangkap atau dibaca pesannya oleh mayoritas masyarakat awam.
Masyarakat
lantas menjadi begitu muak dan mualnya dengan kehadiran arsitektur baru,
sampai-sampai benak kepala mereka dijejali dengan purbasangka: apapun yang
dibangun sekarang pastilah lebih jelek daripada apa yang sudah berdiri
sebelumnya.
“Old
is Best” menjadi epithet yang merupakan tongkat wasiat buat mereka.
Yang
sangat menarik, tapi sekaligus juga mencekam, adalah bahwa ucapan-ucapan
tersebut tidak berhenti sekadar sebagai slogan hampa, tetapi mengejawantah
dalam tindakan nyata. Masyarakat Prancis misalnya, beramai-ramai melancarkan
protes keras tatkala Presiden François Mitterrand, yang ingin ikut memberikan
cap pribadi dalam perkembangan arsitektur Prancis, menandatangani persetujuan
atas rencana dibangunnya piramida kaca ultra modern karya I. M. Pei sebagai
gerbang baru masuk Louvre, dan gedung Opera dari besi kaca di Place de la
Bastile.
Gelombang
protes ini didukung oleh Le Figaro, media massa yang sangat berpengaruh.
Di
Inggris, usulan pembangunan gedung kantor 25 lantai dari kaca dan tembaga yang
dirancang oleh arsitek beken Mies Van der Rohe, juga sampai dua kali ditolak
oleh pihak yang berwajib (Grester London Council), dengan alasan kehadiran
pencakar awan itu akan mengakibatkan tergusurnya 9 bangunan kuno yang terdaftar
sebagai bangunan bersejarah.
Pada suatu
saat memang pernah disepakati bahwa perancangan arsitektur yang “baik” selalu
mengandung konotasi “modern”: bentuk yang sucihama bersih, polos, apa adanya,
yang muncul dari pewadahan yang lugas terhadap fungsi.
Persetan
dengan kesinambungan historis, kehausan manusia akan seni ornamental, atau
keserasian dengan lingkungan sekitarnya.
Dekrit
arsitek adalah bahwa bentuk-bentuk fungsional dan modern itulah cerminan masa
kini yang absah. Padahal pada kenyataannya bentuk-bentuk tersebut sering
terasing dari masyarakat pemakai dan penikmatnya, terasa abstrak dan angkuh, karena
hanya memandang sebelah mata pada manusia, martabatnya, sejarah dan masa
depannya.
Sebetulnya
memang sudah sejak lama disinyalir antara lain oleh Dante Alighieri, bahwa apa
yang disebut “modern” sering berarti sesuatu yang tidak cukup berharga untuk dibiarkan
menjadi tua.
Karena
itu, dalam setiap kongres arsitektur, kapan dan di mana saja, topik
kontroversial yang klasik semacam ini selalu muncul kembali. Keberagaman
ekspresi lokal diakui dan bahkan dituntut keberadaannya dari setiap karya
arsitektur. Itu adalah pusparagam kisah-kisah dari mancanegara yang saya pikir
cukup gayut juga dengan masalah arsitektur di negara kita tercinta.
2.2.
Budaya Massa
Dalam arti
sebenarnya, Budaya Massa adalah dianggap sebagai milik mayoritas masyarakat tak
berbudaya dan tak berpendidikan. Dalam sosiologi, istilah “massa” mengandung
pengertian kelompok manusia yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam
kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan dapat dikatakan: segera mati.
Dalam kelompok manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya
tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain
yang “sekerumunan.” Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui, katakanlah
maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah dan tujuan
bersamanya tercapai. Banyak pengertian budaya massa dari berbagai ahli
diantaranya : Menurut Bennet dan
Tumin,Kebudayaan
Massa adalah “seperangkat ide bersama dan pola perilaku yang memintas
garis sosio-ekonomi dan pengelompokan sub-kultural dalam suatu masyarakat yang
kompleks. Sementara menurut aliran Frankfurt, budaya populer adalah budaya
massa yang dihasilkan industri budaya untuk stabilitas maupun kesinambungan
kapitalisme.
Budaya massa
adalah budaya populer yang dihasilkan industri produksi massa dan dipasarkan
untuk mendapatkan keuntungan pada khalayak konsumen. Budaya massa adalah
hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa
lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis,
heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera “dangkal”. Zaman
dulu secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah simbol
kedaulatan kultural dari orang-orang yang tidak terdidik.
Dari asal
katanya Budaya massa merupakan istilah untuk mass culture,istilah inggris
yang berasal dari bahasa Jerman yaitu Masse dan kultur. Di Eropa budaya
massa ditujukan kepada mayoritas masyarakat Eropa kelas menengah kebawah yang
tak terpelajar,seperti kelas pekerja dan kaum miskin yang disebut mass atau masse.
Karena itu istilah budaya massa di Eropa diidentikkan dengan ejekan atau
merendahkan terhadap apa yang menjadi pilihan-pilihan kaum kelas menengah
ke bawah ini. Pilihan-pilihan itu seperti pilihan produk,ide,perasaan,pikiran
dan sikap masyarakat Eropa yang tidak terpelajar.
Sementara
istilah lain yang berlawanan dengan istilah masse kultur adalah
istilah high cultureyang berarti kebudayaan tinggi atau kebudayaan elit.
Disebut kebudayaan elit karena istilah ini digunakan untuk menyebut atau
mengacu kepada kaum terpelajar dan kelas menengah ke atas di Eropa. Terkait
dengan berbagai pilihan produk kesenian dan segala sesuatu yang berkaitan
dengan pikiran dan perasaan mereka yang menjatuhkan kepada pilihan atas jenis
produk simbolik yang bernilai tinggi.
Jika dibandingkan,pemakaian
kedua istilah diatas untuk menyebutkan perbedaan selera berupa pilihan-pilihan
produk antara kedua kelas sosial diatas. Yaitu antara kaum tidak
terpelajar yang sebagian besar adalah kelas menengah ke bawah dan kaum terpelajar
yang masuk dalam golongan kelas atas. Jelas bahwa pemakaian istilah masse
kultur (budaya massa) mengandung ejekan atau sikap merendahkan terhadap apa
yang menjadi pilihan produk,ide dan pemikiran mayoritas kelas menengah bawah.
Ciri-ciri Budaya massa (Burhan Bungin,2009: 77-78):
1.
Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya
populer. acara-acara infotainment,seperti indonesian idol, Penghuni terakhir,
dan sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini.
2.
Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak
merucut di tingkat elite, namu apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini
makaitu bagian dari basis assa itu sendiri.
3.
Budaya massa juga memproduklsi budaya massa seperti infotainment adalah produk
pemberitaan yang diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat
memanfaatkannya sebagai hiburan umum.
4.
Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya
massa. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa bukan popular kalau budaya massa
artiya budaya tradisional daqpat menjadi budaya popular apabila menjadi budaya
massa. Contohnya srimulat, ludruk, maupun campursari. Pada mulanya kesenian
tradisional ini berkembang di masyarakat tradisioanal dengan karakter-karakter
tradisional, namun ketika kesenian ini dikemas di media massamaka sntuhan
popular mendominasi seluruh kesenian tradisional itubaik kostum, latar, dan
sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara
massalmenjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di pedesaan dan perkotaan.
5.
Budaya massa, terutama yang diproduksi oleh media massa diproduksi dengan
menggunakan biaya yang cukup besar, karena itu dana yang besar harus
menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri, karena itu
budaya massa diproduksi secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan
keberlangsungan sebuah kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan
bagi capital yang diinvestasikan pada kegiatan tersebut.
6.
Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbo-simbol kelas
sehingga terkesan diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas
dan tertutup. Syarat utama dari eksklusifitas budqaya massa ini adalah
keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya secara massal.
b. Pengertian Budaya Populer
Williams
(1983) mendefinisikan kata ”populer”menjadi empat penegrtian yaitu (1) banyak
disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk
menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya
sendiri. Sedangkan pengertian budaya popular dijabarkan dalam berbagai
definisi. Budaya pop oleh Antonio Gramsci (1971) dikaitkan dengan konsep
hegemoninya, mengacu pada cara kelompok dominan dalam suatu masyarakat
mendapatkan dukungan dari kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan,
intelektual, dan moral. Budaya pop adalah ”budaya massa”,
budaya yang diproduksi massa untuk konsumsi massa. Untuk itulah, ada relevansi
antara popular culture dengan commercial
culture (kebudayaan komersil). Budaya yang dibutuhkan sifatnya massal
(common people), tentu diproduksi berlandaskan keinginan pasar(komersil).
Kebudayaan pop hanya akan terjadi manakala keinginan pasar menjadi perhatian
sentral.
Mendefinisikan “budaya” dan “populer”, yang pada dasarnya
adalah konsep yang masih diperdebatkan, sangat rumit. Definisi itu bersaing
dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural
Theory and Popular Culture, membahas enam definisi. Definisi kuantitatif,
suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya “luhur” (Misalnya:
festival-festival kesenian daerah) jauh lebih disukai. “Budaya pop” juga
didefinisikan sebagai sesuatu yang “diabaikan” saat kita telah memutuskan yang
disebut “budaya luhur”. Namun, banyak karya yang melompati atau melanggar
batas-batas ini misalnya Shakespeare, Dickens, Puccini-Verdi-Pavarotti-Nessun
Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang
perbedaan-perbedaan tersebut seperti misalnya sistem pendidikan.
Definisi
ketiga menyamakan budaya pop dengan Budaya Massa. Hal ini terlihat sebagai
budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif
Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika. Atau, “budaya
pop” dapat didefinisikan sebagai budaya “autentik” masyarakat. Namun, definisi
ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan “masyarakat”. Storey
berpendapat bahwa ada dimensi politik pada budaya populer; teori neo-Gramscian
“… melihat budaya pop sebagai tempat perjuangan antara ‘resistansi’ dari
kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan ‘persatuan’ yang beroperasi
dalam kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat.” Suatu pendekatan
postmodernism pada budaya populer “tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya
luhur dan budaya populer.”
Storey
menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat
revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi
“budaya massa”. Penelitian terhadap Shakespeare (oleh Weimann atau Barber
Bristol, misalnya) menemukan banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama
Shakespeare dalam partisipasinya terhadap budaya populer Renaissance.
Sedangkan, praktisi kontemporer, misalnya Dario Fo dan John McGrath,
menggunakan budaya populer dalam rasa Gramscian yang meliputi tradisi
masyarakat kebanyakan (Ludruk misalnya).
Budaya Pop
selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop
membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual
yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan
lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop
mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur, yang
melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop mainstream begitu
sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas menarik
spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.
* * *
Ciri-ciri budaya populer:
a.
Tren, sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang
berpotensi menjadi budaya populer;
b.
Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti
oleh banyak penjiplak. Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi karya-karya
lain yang berciri sama, sebagai contoh genre musik pop (diambil dari kata
popular) adalah genre musik yang notasi nada tidak terlalu kompleks, lirik
lagunyasederhana dan mudah diingat;
c.
Adaptabilitas, sebuah budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi oleh
khalayak, hal ini mengarah pada tren;
d.
Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas
menghadapi waktu, pionir budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya bila
pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan
bertahan-seperti merek Coca-cola yang sudah ada berpuluh-puluh tahun;
e.
Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer berpotensi menghasilkan
keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya.
(http://www.slideshare.net/andreyuda/media-dan-budaya-populer)
Menurut Ben
Agger pemikiran tentang budaya popular dapat dikelompokan menjadi yaitu:
1.
Budaya dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan
orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari.
2.
Kebudayaan popular menhancurkan kebudayaan tradisional.
3.
Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi kapitalis Marx.
4.
Kebudayaan popular merupakan budaya yang menetes dari atas (Burhan Bungin,
2009: 100).
Kebudayaan
popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua
orang atau kalangan orang tertentu seperti mega bintang, kendaraan pribadi,
fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan sebagainya. Menurut Ben Agger Sebuah
budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsure
popular sebagai unsure utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya
manakala media massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat (dalam
Burhan Bungin,2009:100).
Karena
arsitektur merupakan suatu bentuk budaya massa, konsekuensinya ia harus bisa
menjalin komunikasi dengan masyarakat pemakainya, wajib memiliki mass appeal, dan
seyogyanyalah merasuki wilayah kehidupan sehari-hari.
Kalau bak
sampah dirancang agak terlalu bagus sehingga dimanfaatkan sebagai tempat
tinggal atau MCK digunakan sebagai gudang beras karena sayang bila “hanya”
untuk buang kotoran (tidak usah kecil hati, karena di Italia pun flush toilet didayagunakan sebagai tempat pencuci
buah anggur), berarti komunikasi timbal-balik tidak berlangsung dengan
sewajarnya.
Mies Van
der Rohe merancang kursinya yang terkenal itu sedemikian rupa sehingga terasa
berat dan sulit digeser karena konon menurut etika Jerman, menggeser kursi agar
lebih dekat pada yang punya rumah dinilai sebagai tindakan yang kasar alias
tidak berbudaya.
Akan
tetapi, biarpun dari segi kekuatan, fungsi dan kenyamanan serta keindahan (“Firmitas,
Utilitas, dan Venustas”, menurut versi Vitruvius) kursi Mies memenuhi
segenap persyaratan, namun karya itu toh tidak bisa diterapkandi sembarang
tempat dan waktu dengan begitu saja.
Kekhasan
dan keunikan pemakai harus menjadi batu pijakan utama untuk melangkah dalam
proses perancangan. Kalau masyarakat Occidental menyukai hal-hal yang serba
formal, definitif, tugas (pakaian saja dipilah-pilah menjadi pakaian santai,
sport, pijama, evening dress, pakaian kantor, dan lain-lain),
masyarakat kita yang tergolong oriental lebih mendambakan keluwesan dan
kekenyalan alias fleksibilitas (sarung bisa dipakai untuk bertandang ke
tetangga, sembahyang di masjid, main silat, ronda malam, ke kamar mandi atau
tidur; dan yang disebut batik bisa digunakan untuk kain, baju, taplak, tirai,
pembalut kursi, gambar pajangan, menggendong bayi, atau penutup keranda).
Jadi tidak
usah heran kalau kita jumpai rumah yang sekaligus jadi bengkel, warung, salon,
praktik dokter atau dukun dan bahkan bordil gelap. Atau ruang tunggu suatu
kantor yang diisi meja pingpong atau bilyard. Yang kita sebut pencak silat itu,
adalah juga seni tari, olahraga, dan musik campur jadi satu. Nah, tanpa adanya
rasa tanggap dan pencerapan tuntas atas hal-hal spesifik semacam itu, akibatnya
adalah seperti yang menimpa kebanyakan perumahan yang dibangun melalui KPR-BTN:
langsung dirombak begitu ditempati oleh pemakainya. Sebab rumah-rumah tersebut
dirancang secara massal dalam bentuk paket mati artifisial yang terima jadi,
sehingga kurang memberikan peluang bagi pemakai/penghuni/pemilik untuk
memancangkan cap pribadi atau menampilkan jati diri masing-masing.
Secara
jujur harus pula diakui bahwa banyak karya arsitektur yang betul secara programatis
dan prima dari kacamata utilitarian,
tetapi kurang menyentuh jiwa sehingga tidak menghasilkan kenikmatan, kalau toh
ada paling hanya kenikmatan visual yang sesaat saja.
Padahal
justru sentuhan pada getaran jiwa inilah yang secara esensial membedakan karya
arsitek dengan karya builders dan engineers. Begitu kurang
lebih gumam R. M. Beckley. Dan dalam hal ini upaya dan gebrakanArsindo
dirasakan masih kurang. Kalau mau dibuat ibarat dari kenyataan sehari-hari,
suara muazin yang sensitif, melodious, penuh perasaan, menggetarkan jiwa dan
menegakkan bulu roma itulah yang semestinya lebih dibudidayakan daripada
teriakan yang keluar dari pengeras suara di masjid yang terlalu lantang
melantunkan adzan bersumber dari pita rekaman.
Arsitektur perkotaan
dewasa ini mempunyai bentuk
tampilan fisik yang
sangat beraneka ragam. Bentuk tampilan fisik itu menjadikan ciri budaya yang menarik bagi sebagian
masyarakat, dan berkembangnya memunculkan spekulasi dari perjalanan arsitektur
yang sulit untuk dikontrol lagi. Hal
itu dilanjutkan dengan perkembangan arsitektur di seantero pelosok dunia yang sangat pesat pengaruhnya dan ini
sebagai bagian dari era yang kita
sebut dengan globalisasi. Tentu saja dari perkembangan tersebut akan
memberikan pengaruh besar terhadap
pendidikan arsitektur di Indonesia. Baik mazab, doktrin, style, maupun desain bangunannya. Arsitektur demikian berbicara dengan
bahasa pop terkadang diproduksi massal dengan standar-standar tertentu. Dalam perkembangan dan perjalanannya karya-karya arsitektur semacam itu
kadang-kadang terlihat tidak menghargai gaya masa lalu, yang muncul tanpa
melihat kontekstual lingkungan tempat bangunan lain berada. Pada dasarnya seni
ber’arsitektur’ itu tidaklah eksklusif dan sempit tentunya, tetapi selalu membaur dalam kehidupan fisiknya
serta ingin sekali menghargai keanekaragaman dan pluralisme. Pada kenyataan
perjalanan arsitek selalu mencari
bentuk sederhana, dan dapat dijadikan sebuah karya yang bermakna tunggal. Meskipun banyak juga yang dalam prosesnya memunculkan elemen-elemen masa kini yang pada
kenyataannya merupakan elemen “repetisi”
(pengulangan). Karya asitektur
dibangun dalam lingkungan
urban yang sangan kontekstual sekali, namun teknik
membangunnya tidak disertai
pemahaman mengenai nuansa artistik. Bukan sebuah
kisah arsitek
dengan karya-karya yang melambangkan suatu dunia yang imajiner.
Akan tetapi, aspek urban inilah yang memperlihatkan gaya, bentuk, dan corak yang saling bertentangan. Charles Moore dalam ‘Conversation with Architects’,
mengatakan sebuah bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkannya, mengatakan apa yang ingin dikatakannya
sehingga telinga kita mulai mendengar
apa yang ingin disampaikan oleh bangunan tersebut (Grenz 2001:42). Kenyataannya
kaum modernis menemukan identitas
dirinya dengan membuang segala sesuatu
yang lain dari dirinya; dengan cara ini, para arsitek modern mengatakan bahwa hasil karya arsitektur mereka
bersifat murni (orisinal). Apakah arsitektur itu berkembang dan menjadi arus yang
sangat dominan? Pada awalnya, mereka mempunyai keyakinan untuk menciptakan
suatu tempat dan bangunan yang dapat memberikan kenyamanan
pada manusia. Kenyataannya
industrialisasi arsitekturlah
yang menyingkirkan keanekaragaman tradisi dan lokalitas yang ada. Ekspansi ini berlanjut dengan menghancurkan
bangunan kuno dan juga bangunan
tradisional. Meskipun berdasarkan
prinsip yang konon
oleh Frank Llyod Wright dinyatakan dengan prinsip kesatuan (unity), dikatakan bahwa bangunan
modern
harus
merupakan
sebuah
kesatuan
organis.
Bangunan
harus merupakan “kesatuan yang agung” (one
great
thing)
dan bukan kumpulan “bahan yang tidak agung” (little things) dalam kata lain bangunan harus mengekspresikan
makna tunggal (Grenz 2001:39).
Arsitektur berkembang menjadi arus yang dominan sebagai cetusan
jiwa
modern untuk selalu “maju” dalam menghadapi tatanan global. Tidak Nampak kedalaman atau keluasan, melanggar batas sejarah demi untuk memberikan kesan masa kini. Melanggar orisinalitas
dan tidak ada gaya sama sekali. Walter Gropius dalam “Programme of the staatloches Bauhaus in
Weimar”, mengatakan mari bersama-sama
kita bayangkan, pikirkan, dan ciptakan
sebuah struktur masa
depan baru yang
meliputi bidang arsitektur, seni
pahat, seni lukis sebagai sebuah kesatuan. Suatu hari, semua ini akan menjulang sampai ke langit
melalui tangan berjuta-juta seniman. Ini menjadi
keyakinan
baru
seperti
sebuah
kristal
(Grenz
2001:40).
Karena
itu memikirkan struktur masa depan baru dengan
menyingkirkan
demensi modern dan postmodern dan hanya berfokus pada fungsi akan mengalami perjalanan yang tidak mudah. Bahwa
demensi artistik mempunyai peran besar untuk
menyampaikan suatu kisah. Ditekankan
oleh Eco (2004:375), di dalam kasus-kasus
tertentu, bahkan terjadi pembunuhan
arsitektur. Hanyalah style-nyalah yang
diberi kesempatan hidup. Dalam kondisi ketidakpastian
sekarang ini sangatlah sulit untuk
member pandangan definitif mengenai peran perancang di masa mendatang atau bahkan di masa kini.
Cross (1975) meminta kita untuk
mempertimbangkan apakah kita sekarang
memasuki masyarakat pasca- industri
dan karenanya memerlukan proses desain pasca-industri (Lawson
2007:29).
Arsitektur haruslah memberikan kepastian dengan bahasa barunya, yaitu kesatuan dan keseragaman (uniformity), meskipun pada kenyataannya juga terdapat bangunan-bangunan yang sangat tidak
manusiawi. Dengan berbagai produksi massalnya, kekuasaan arsitektur semakin menjadi, sehingga mereka kehilangkan nilai-nilai sejarah bahkan juga kreatifitas dan
imajinatifnya.
Dinamika
Modern dan Postmodern
Banyak sejarawan menyebut era modern sebagai
“era industrialisasi”,
karena
era ini di dominasi oleh produksi
barang-barang. Karena fokusnya pada
produksi material-material, modernism
menghasilkan masyarakat industri.
Simbolnya dalah pabrik.
Sebaliknya, era postmodern
mengarahkan fokus kepada informasi. Kita sedang menyaksikan transisi dari masyarakat industry ke masyarakat informasi.
Simbolnya adalah computer (Grenz 2001:33). Apakah
benar bahwa ciri dari
budaya postmodern adalah
pluralism. Untuk itulah para arsitek yang berjiwa seni
mulai mencampurkan berbagai
komponen yang saling
bertentangan menjadi sebuah karya seni. Perubahan
ini hanya sekedar mencemoohkan apa yang dilakukan di
dalam era modernism dengan tradisi industrialisnya. Sebuah ekletisme baru yang
ditata sedemikian rupa seolah mengubah tata cara dan tradisi yang
berkembang pada era modernism. Komerialisasi ini memberikan perubahan besar
dalam peradaban ber’arsitektur’, mereka saling
melakukan tawaran yang saling bertentangan baik secara teknologi
mupun material bahannya. Tanggung-jawab
dari
akibat
perubahan
itu
menjadikan
arsitektur perkotaan sebagai tempat mereka melakukan eksperimen menawarkan cara-cara baru yang terkadang ironis. Charle
Jencks dalam ‘What is
Post-Modernisme?’
mengatakan, postmodern adalah campuran
antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Postmodern adalah kelanjutan dari modernism, sekaligus melampaui
modernism. Ciri khas karya-karyanya adalah makna ganda, ironi, banyaknya
pilihan, konflik, dan terpercaya berbagai tradisi,
karena heteregenitas sangat memadai bagi pluralism (Granz 2001:37). Kemasa kinian membuat arsitektur
terjerembah ke dalam fenomena baru
dalam menjelaskan stylenya,
pemiskinan komponen dan elemen
arsitektur menjadi perhatian besar dalam karya- karya yang nampak diseantero
belahan dunia. Tak terkecuali di Indonesia, tatanan
yang dipamerkan semakin beragam dengan adaptasi dan pemikiran si arsitek
menjadikan eksebisi baru dalam menata sebuah perkotaan. Kelokalitasan
menjadi trend baru
saat ini, pencerminan
bahan dan teknologi dicoba untuk
diperdagangkan dengan moralitas tinggi. Ide
klasik ditata dengan tampilan baru
yang terkesan glamour menjadikan suasana semu yang penuh misteri itulah lokalitas
arsitektur yang modernistis. Tampilan itu menjadikan nuansa baru bagi lingkungan
dan masyarakat awam yang melihatnya. Namun, dampak urban-arsitektural
pun akan mengganggu sebuah kawasan dengan
kontekstual kuat terhadap aspek kultur-historis, yang tentu saja menjadi sebuah hak milik masyarakat yang harus dihormati. Apakah tatanan postmodern telah memberikan jaminan
perjalanan bagi karya-karya
arsitektur, regionalism dan lokalitas menjadi tantangan yang tentu saja harus
diadaptasi agar bisa berjalan berdampingan. Dengan bentuk dan ruang barunya dan
untuk menjaga agar tidak terjadi
keasingan di
kawasan baru tersebut,
maka
tatanan masyarakat urban yang masih tradisionalistik itu perlu dijaga.
Reaksi terhadap tumbuhnya
arsitektur yang akhir-akhir ini menjamur di perkotaan telah
memperlihatkan gaya dan corak dengan kekhasan masing-masing. Apakah ini
menjadikan sebuah gejala arsitektur yang simbolik, atau mereka selalu
memikirkan fungsi tanpa melihat rasio dan logika yang
berkembang. Seharusnya mereka
melayani penghuni perkotaan,
yaitu masyarakat yang mempunyai tatanan sosio-budaya-
ekonomi dengan kelas menengah bawah yang tidak sama atau berbeda di antara mereka. Kesesuaian
antara bentuk dan realitas yang diciptakan para artis dalam hal ini arsitek
membaur di dalam tatanan urban yang selalu dinamis. Kesejajaran antara
batasan ruang publik terhadap persepsi
masyarakat perkotaan menjadi semakin
tajam perbedaan nuansa budaya yang diciptakannya. Menjadikan kota sebagai
‘ekspetasi visual’ dibentuk oleh apa yang dinamakan
ketidaksesuaian antara objek dan realitasnya.
Dengan kata lain, batas antara fakta arsitektur dengan berjalannya style atau
langgam yang dibawanya tampak tegas telah semakin mengabur di era dinamika ‘postmodern’
ini. Perubahan dalam merekonstruksi peradaban arsitektur menjadi
bagian untuk mencari kebenaran tampilan fisiknya, sebagai alternatif
dalam menelusuri masa lampau. Popularitas arsitektur masa kini dengan beberapa eksperimennya menjadi
ilustrasi menarik untuk dikaji.
Memiliki masa lampau dan masa depannya sendiri dengan struktur dan elemen-elemennya.
Kebudayaan
dan Budaya Popularitas
Kebudayaan adalah sebuah konsep yang definisi
sangat beragam. Pada
abad ke-19. Istilah ‘kebudayaan’ umumnya digunakan untuk seni rupa, sastra,
filsafat, ilmu
alam, dan musik, yang
menunjukkan semakin besarnya kesadaran bahwa seni dan
ilmu pengetahuan dibentuk oleh lingkungan sosialnya (Burke 2001:177). Lalu bagaimana dengan arsitektur,
bahwa tradisi ber’arsitektur’ tidak
bertahan selamanya dan akan terjadi sebuah perubahan
di dalamnya. Apakah itu tradisi
dalam berbudaya atau sebuah
‘reproduksi budaya’. Penafsiran
ulang dalam arsitektur akan
mengingatkan pada terjadinya proses di era modernisme yang berproses kemudian
masuk menjadi bagian dari era
postmodernisme. Dengan demikian,
konstruksi dalam budaya ber’arsitektur’
seharusnya lebih dilihat sebagai sebuah masalah arsitektur, bukan
yang lainnya dan dibutuhkan sebuah
analisis yang lebih rinci. Pada sisi inilah kecenderungan- kecenderungan baru itu
memberikan makna pada arsitektur, sehingga kota sebagai tempat
masyarakat harus dilihat
dalam dua sisi, meskipun menurut Rogier Chartier perlu diganti, yaitu ‘sejarah sosial kebudayaan’
(social history
of
culture) dan yang satunya
adalah ‘sejarah budaya
masyarakat’ (cultural history of society). (Burke 2001:182)
Sebaiknya keduanya hal itu, baik sejarah
sosial maupun sejarah budaya tidak saling ditinggalkan, dan dapat digunakan
sebagai pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan arsitektur diperkotaan.
Akhir-akhir ini banyak gaya bangunan
muncul untuk mewakili ciri tertentu dari apa yang dinamakan ‘kebudayaan populer’, yakni sikap-sikap dan
nilai-nilai masyarakat awam serta
pengungkapannya dalam arsitektur yang mereka maknai sebagai
arsitektur ‘kerakyatan’. Perhatian terhadap tinggalan arsitektur akhirnya mencul seperti sebuah ‘puisi kebudayaan’,
di tata berjajar dalam sebuah koridor
atau jalan, dengan kolase dan warna yang gemerlap, elemen-elemen
eklektis menjadi hiasan kemegahan bangunan tersebut. Arsitektur
akhirnya menjadi ladang kegagalan akibat eksperimen dari arsitek yang kurang memahami
lokalitas (kearifan lokal) dan budaya setempat. Bangunan
yang dirancang
ditata seperti etalase, dipertontonkan dengan bentuk dan
warna-warninya, dan menjadi bagian
kepentingan ekonomi bagi pemilik, arsitek maupun pemerintah kota. Pola- pola
kebudayaan dengan
ekspresi-simboliknya
dalam kehidupan
sehari- hari tidak
dimaknai sebagai
bagian dari perjalanan sejarah. Bangunan dapat dilihat sebagai ‘habitus’ menurut Arsitoteles, yang didefinisikan sebagai
seperangkat skema (tatanan) yang memungkinkan agen-agen menghasilkan keberpihakannya
kepada praktik-praktik yang telah
diadaptasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi (Burke
2001:179-180). Di sinilah letaknya
keterkaitan lingkungan- arsitektur-sosial-budaya menjadi bagian
yang harus dan perlu untuk
diperhatikan oleh arsitek
dan penentu kebijakan.
Ilustrasi hidup ini menjadi impian perjalanan arsitektur saat
ini, meskipun style dan
langgam menjadi bagian yang selalu menghantui para arsitek di dalam merencana
dan merancang objek arsitekturalnya. Popularitas
pasca postmodern menjadi budaya yang semakin digemari dengan komersialisasinya
yang berkembang baik di perkotaan maupun di wilayah perdesaan. Budaya
masyarakat dikalahkan oleh komersialisasi global dalam bidang ekonomi
menjelajahi hampir
semua wilayah di Indonesia. Menjadikan sebuah budaya yang populer dalam ber’arsitektur’ dengan bentuk
permainan- permainan, dengan maksud
untuk menggantikan pandangan
tradisional bahwa ideologi adalah refleksi dari masyarakat. Rasa identitas
(nativisme), menjadi alat agar tampilan bangunan sebagai karya arsitektur
ini sangat tergantung kepada keefektifan dalam mempertahankan rintangan dengan
cara mencegah masuknya para
arsitek maupun
paham-pahamnya dari luar.
Tradisi tidak
otomatis bertahan selamanya, ditularkan oleh orang tua
kita dulu secara turun-temurun
yang sekarang menjadi
bagian tinggalan
dari budaya
masa lalu. Perjalanan
arsitektur yang direpresentasikan sebagai perjalanan
peradaban bangsa ini
memberikan banyak memunculkan
bentukan fisik, yang saling kontroversial tanpa
memahami kesadaran terhadap pentingnya ‘kebudayaan’ itu. Sebaliknya perubahan kondisi sosio-kultural masyarakat
adalah fakta sosial
yang bukan ilusi tetapi fakta kolektif masyarakat urban. Popularitas arsitektur menjadi gaya trend saat ini, memunculkan
bahasa baru dalam budaya ber’arsitektur’, di mana ruang publik
sudah tidak lagi memerlukan
dimensi artistik
sebagai lambang masyarakat modern. Dengan bahan-bahan industri mereka melayani dunia baru yang dikuasai oleh
kekuasan sains dan teknologi. Bahwa di dalam
kebudayaan abad kedua
puluh, arsitektur Barat didominasi oleh ekonomi dan teknologi. Brutalisme atau Venturisme, Archigram atau arsitektur rasional operasionalisme atau rasionalisme
baru- semua mengandung kesan teknologis. Mereka adalah produk-produk masyarakat teknologis abad kedua puluh (Skolimowski 2004:124-125).
Penghargaan akan gaya masa lalu menjadi
sirna, gaya modern seolah telah
menemukan identitas dirinya dengan membuang segala yang lain dari dirinya.
Karena itulah, arsitektur seharusnya menganut
keanekaragaman tidak hanya berbicara masalah global, tetapi budaya kelokalan
atau dengan kata lain ada yang menyebut
‘regionalisme’, haruslah juga diperhatikan. Menurut Skolimowski
(2004:125), kita tidak ingin membangun gedung- gedung yang steril, lingkungan-lingkungan
yang bermutu rendah, ruang- ruang
yang di dalamnya jiwa manusia dihalangi; kebudayaan kita membuat kita merancang lingkungan-lingkungan
dan ruang-ruang semacam itu. Kemudian Skolimowski
melanjutkan ada sesuatu yang tersembunyi dan membahayakan di dalam pertunjukan para arsitek yang berbakti, tekun, dan berbakat yang bisa, dan ingin,
membangun lebik baik daripada yang diizinkan untuk mereka hasilkan di dalam
konteks masa kini.
Dinamika
Budaya Ber’arsitektur’
Pergesaran budaya dalam
arsitektur terjadi
akibat
beberapa pendekatan dalam
tradisional.
Banyak
pengamat
sosial
sepakat
bahwa
dunia
Barat sedang mengalami pergeseran atau perubahan. Faktanya kita sedang
merasakan perubahan budaya yang berlawanan dengan cirri khas zaman modern, yakni inovasi
yang
lahir sebagai reaksi terhadap kemandulan dan kelumpuhan Abad
Pertengahan. (Grenz 2001:8) Hal itu akibat dari kreativitas arsitek sebagai
kekuatan aktif yang dilandasi oleh kesadaran akan bagaimana hubungan budaya tersebut dengan masyarakat sekitarnya dapat
berlangsung. Arsitektur seharusnya dipandang sebagai
bagian
dari konstruksi budaya dalam artian telah terjadi adanya dialektis antara
mempengaruhi dan dipengaruhi. Apakah
masyarakat yakin bisa menerima inovasi baru?
Bagaimana konsepsi tradisional tidak mampu
untuk meyakinkan masyarakat tertentu pada masa sekarang? Bagaimanakah seorang
arsitek dapat mengkonstruksi konsep
dan pemikiran baru dengan anlisis yang lebih rinci dan menjadi sebuah
kajian menarik? Pembangunan bangunan-bangunan baru setelah pasca-
postmodern ini memunculkan reaksi bahkan konflik dalam melihat arsitektur
sebagai model seni untuk membangun identitas kolektif dengan cara nenampilkan
diri secara berbeda dari lingkungan/kawasan di sekitarnya.
Seberapa jelaskah
batas-batas budaya yang ada itu dapat dijadikan
patokan-patokan
dalam berkarya, dan sampai kapan semuanya dapat bertahan dalam dunia arsitektur ini. Tanda-tanda
ekspresi budaya dalam demensi hidup terganjal oleh dinamika fenomena arsitektur
yang dibangun berdasar lokalitas.
Pemahaman semu ini menjadikan era di mana gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai bertahta ketika arsitektur
menyeberang dari modern ke postmodernisme, dan seolah-olah kita sedang berpindah kepada sebuah era budaya baru. Budaya
ber’arsitektur’ menjadikan kesadaran arsitek sekarang ini berkembang dengan pola pikir masa lalu. Radikalisme dalam meletakkan bangunan dengan
segala macam ragam bentuk stylenya
tercermin dalam sebuah tatanan bangunan Ruko, yang berkembang atas dasar
optimisme ekonomis sebagai tempat
mereka (arsitek) untuk bermain. Dinamika ini menjadikan semua wilayah
‘terjajah’ oleh globalisasi ekonomi yang mendominasi masyarakat dewasa ini.
Munculnya beberapa apartemen baru
dengan berbagai macam sajiannya masing-masing telah menyerbu kehidupan masyarakat sekarang
ini. Seolah mereka berpikir bahwa hunian yang
mereka rancang yang
menjulang tinggi akan
memberikan kenyamanan dengan lingkungan barunya. Sebenarnya komunitas
tempat masyarakat berada dengan
keanekaragaman dan sikap pluralismenya mempunyai keyakinan bahwa
pemahaman akan kebenaran itu dapat hidup berdampingan.
Teori-teori dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan para arsitek
perlu
ada penyempurnaan bukan petikan atau pengulangan dari karya lain. Bahkan apa yang dinamakan dengan stylistic integrity (integritas gaya) ini, bukan dalam artian
menantang kekuatan aturan-aturan yang
ada. Akan tetapi menjadi salah satu sikap keragaman arsitektur dalam massa tunggal maupun banyak. Harapannya, budaya pop dalam arsitektur
ini sebagai sebuah karya yang tidak terkait waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi oleh waktu. Karena arsitektur masa kini menyukai radikalisme bentuk massa bangunan dijadikan sebagai pangung teater, dan membuat
berbagai elemen saling berbenturan.
Ciri khas ini akan mempengaruhi budaya populer kita sekarang ini,
mereka
kurang bisa menempatakan seni arsitektur
bermutu tinggi di atas budaya
tersebut. Arsitektur mengikhtisarkan
kebudayaan di mana ia merupakan
bagian. Di dalam suatu kebudayaan yang maju, arsitektur ikut serta di dalam kemegahan. Kemudian ia mengungkapkan bukan hanya kekokohan dan komoditi
tetapi juga kegembiraan. Ketika
sebuah kebudayaan sedang
runtuh
dan
tak
mampu
mempertahankan corak
khasnya,
arsitektur mendapat bagian yang banyak dipersalahkan karena kekurangan-kekurangannya
terlihat sangat mencolok dan dialami semua orang (Skolimowski 2004:123-124).Arsitektur menjadi objek yang
menarik dan unik, namun hasilnya belum tentu bisa dijangkau oleh masyarakat
kelas menengah maupun bawah. Dengan langgam dan elemen-elemen yang dikatakan bernilai seni tinggi,
namun hasilnya belum tentu bisa diterima oleh masyarakat awam. Harapannya arsitektur dapat
mentautkan dua alam yang berbeda, yaitu profesional
dan popularitas di dalam menata budaya masyarakat setempat.
2.3.
Simfoni, bukan Cacophony
Banyak
arsitek yang bergulat dan main cinta dengan dirinya sendiri, seperti dikeluhkan
oleh Rapoport: pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan selera suka dan
tidak suka yang subjektif, personal, tan-logis dan tidak kumulatif. Dengan kata lain,
tidak didasarkan pada informasi objektif yang terandalkan, studi kepustakaan
yang lengkap dan gayut, penelitian mendalam mengenai interaksi manusia dan
lingkungan, atau pada teori-teori arsitektur yang teruji.
Dikisahkan
oleh Rapoport tentang suatu pengkajian buku mutakhir oleh seorang pelopor teori
arsitektur post modern yang menyebutkan bahwa
“arsitektur menyangkut perilaku manusia, lingkungan, dan bentuk. Karena saya
awam dalam hal perilaku manusia dan lingkungan, saya akan membatasi pembahasan
saya khusus mengenai bentuk saja.”
Wah
rasanya kilah semacam itu sungguh sulit untuk dipercaya, apalagi buat
dimaafkan. Sebab selain berkutat perkara bentuk yang mengandung denotasi
eksplisit tentang fungsi, arsitek mau tidak mau harus bicara tentang manusia
dan lingkungan berkat konotasi implisit yang menyangkut makna dan simbolisme
kolektif yang diembannya.
Sama-sama
bentuk dasar kursi yang berdenotasi tempat duduk, misalnya, ada berbagai ragam
variasi penampilan kursi karena konotasinya yang berlainan. Kursi pimpinan yang
empuk bermahkota penuh ukiran indah pastilah berbeda dengan kursi bawahannya
yang serba keras, polos, dan lugu.
Dalam
skala yang lebih luas, adanya keserbaragaman sektor formal-informal,
modern-tradisional, elitis-populis, kontemporer-konvensional, dan lain-lain
yang mewarnai arsitektur dan lingkungan di Indonesia mesti diterima dengan
kepala tegak berlapang dada. Sedapat mungkin semua itu diaransir menjadi
simfoni yang laras, dan bukan sekadar dikotak-kotak untuk kemudian dicampur
aduk menjadi cacophony yang kacau balau.
Lingkungan
perkampungan kumuh, kaki lima, pasar, kendaraan jenis ketiga atau keempat, dan
lain-lain yang serba hemat energi, akrab dengan udara terbuka, berkemampuan
adaptasi tinggi, menjangkau mayoritas masyarakat yang papa, sepantasnya
mendapat perhatian yang lebih proporsional dari para arsitek. Terutama Arsindo
yang menduduki peran sebagai penentu kebijakan. Kiranya sulit disangkal bahwa
arsitek kaki telanjang yang solider terhadap rakyat kecil dan terpanggil
jiwanya untuk bergelut memecahkan masalah-masalah yang dihadapi bagian terbesar
masyarakat kita, masih termasuk kategori barang langka.
Senada
dengan kecaman Arifin C. Noor, kebanyakan arsitek kita di samping arsitek kota
adalah juga arsitek borjuis.
2.4.
Pelihara rakyat
Misi yang
disandang oleh arsitek memang tidak tanggung-tanggung: tidak hanya melayani apa
yang diharapkan dan dibutuhkan sekarang, melainkan juga memberikan apa yang
belum diharapkan.
Pinjam
kata-kata Umar Kayam, arsitektur sebagai salah satu ungkapan budaya tidak hanya
diartikan sebagai ekspresi kemampuan manusia dalam menciptakan sarana-sarana
untuk mewakili dan menjaga kelangsungan hidupnya, tetapi juga diartikan sebagai
ekspresi manusia dalam menciptakan sarana-sarana itu menjadi prasarana untuk
perkembangan selanjutnya.
Karya
arsitektur Indonesia yang baik, di samping mampu memenuhi trinitas Vitruvius,
juga memiliki potensi antara lain untuk lebih memperkaya jiwa,
mengguyub-rukunkan masyarakat, menangkal timbulnya kecemburuan sosial,
memberikan peluang guna pembauran, dan mewadahi perkembangan tuntutan kehidupan
masyarakat yang selalu meningkat. Semua itu dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mensejahterakan masyarakat, tanpa kecuali.
Dus,
manakala ada arsitek yang berperan kunci dalam bidang pemukiman/real estate,
dan hasil karya perencanaan lingkungannya menyengsarakan rakyat, misalnya dalam
bentuk: air bersihnya ternyata kotor, fasilitas umum terutama lapangan terbuka
atau tempat bermain kurang memadai, lingkungannya rawan terhadap banjir, atau
menciptakanenclave yang
eksklusif, alergi terhadap pencampuran dengan masyarakat sekitar, dan
semacamnya, berarti bahwa dia tidak sepolos hati mengemban misinya yang luhur
demi kepentingan masyarakat banyak dan generasi penerusnya.
Para
arsitek mesti ingat petatah petitih: “Berkata peliharalah lidah, berjalan
peliharalah kaki... berencana peliharalah rakyat.” Dan dalam kehidupan
praktiknya, arsitek memang makin dituntut untuk lebih daripada seorang arsitek.
Sering dia “terpaksa” harus berpikir dan bertingkah sebagai seorang sosiolog,
ekonomi, psikolog, dan bahkan antropolog sekaligus. Ini bisa dianggap sebagai
beban, tetapi bisa juga sebagai kehormatan sekaligus tantangan.
2.5.
Dwicakap
Arsitek
sering dituding sebagai “inarticulate person”, alias orang yang sulit
ditangkap apalagi dicerna gagasan dan pokok-pokok pikirannya. Entah karena
pandangan garda depannya yang terlalu utopian (atau justru menoleh balik mundur
jauh ke belakang), atau bahasanya yang terlalu canggih, atau memang karena
tidak bisa menuturkan idenya secara urutan, dan runtut.
Padahal,
karena pada hakekatnya “designing is a reflective conversation”
(Donald Schon), seyogyanya arsitek banyak melakukan dwicakap baik antara
arsitek sendiri, antara arsitek dan profesional di bidang lain, para penentu
kebijakan dan masyarakat luas. Penekanannya adalah dwi-cakap yang setara dan
interaktif jadi bukan dalam bentuk pidato, penyuluhan, pengarahan, atau
instruksi yang sifatnya satu arah.
Hemat
saya, melalui wahana dwicakap yang intensif dan ekstensif inilah baru bisa
dirumuskan secara tepat masalah yang nyata-nyata dihadapi dan perlu dipecahkan.
Kata orang arif, perumusan masalah yang tepat berarti sudah setengah memecahkan
masalah. Erich Mendelsohn pernah mengatakan bahwa problema utama dalam
arsitektur adalah “the finiteness of mechanics and the infiteness of life.”
Nah, untuk menilik perikehidupan yang tak terbatas itulah sangat diperlukan
dwicakap yang demokratis dan sinambung, dituntaskan dengan penelitian lapangan
yang baik dan benar.
Yang tidak
kalah pentingnya, hasil-hasil dwicakap dan penelitian tersebut seyogyanya
direkam dalam bentuk tulisan dan disebarluaskan melalui berbagai media. Budaya
tulisan harus segera melengkapi budaya lisan. Kalau tidak, kita akan selalu
berputar-putar di sekitar masalah yang sama, tanpa bisa melesat ke luar dari
kurungan yang menyelubungi kita.
Akibat
selanjutnya, pakar dari disiplin lainlah yang akan banyak bicara dan menulis
perkara arsitektur, lingkungan binaan, dan perkotaan. Tanpa penelitian,
perkembangan arsitektur akan mandek, tidak akan muncul teori baru, dan tamat
pulalah kedudukannya sebagai suatu cabang ilmu. Cukup puas dipatok sebagai
keterampilan saja. Ini akan sangat disayangkan, mengingat bahwa sistem
pendidikan arsitektur yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun dinilai
inovatif dipakai sebagai model bagi pendidik lain dan telah mempraktikkan apa
yang dituntut oleh pendidikan radikal seperti Ivan Illich, Jean Piaget, dan
Jerome Bruner, yaitu mensenyawakan ilmu dan profesi, pengetahuan dan tindakan,
teori dan aplikasi.
2.6.
Apresiasi dan Kritik Arsitektur
a.
Apresiasi arsitektur
Tidak
hanya masyarakat pemakai arsitektur, para arsitek sendiri juga perlu
ditingkatkan apresiasinya terhadap karya-karya arsitektur.
Makin
tinggi tingkat apresiasi seseorang, akan semakin tinggi pula intensitas
penikmatannya. Selain kegiatan melatih apresiasi dalam bentuk pameran,
penerbitan buku semacam “Karya Arsitektur Arsitek Indonesia”, diskusi dan
ceramah ilmiah, perlu pula mulai dirintis pembudayaan kritik arsitektur. Kritik
yang dimaksud tidak hanya kritik akademis yang mempertanyakan landasan teori
yang sudah terlanjur mapan, atau memperbaharui teori yang ada, juga tidak
sekadar evaluasi baik buruk dari suatu karya arsitektur (yang menuding di mana letak
keberhasilan dan di mana titik-titik lemahnya), melainkan juga kritik yang
mengupas, memberi dan menjelaskan nilai-nilai, lambang-lambang, dan dimensi
tersembunyi yang terkandung di dalamnya. Hal yang tidak kasat mata, yang
memberikan napas dan menjiwai suatu karya itulah yang lebih perlu untuk
diresapi dari pada sekadar bentuk fisik saja, seperti kecenderungan yang
mengarus deras dewasa ini.
Apresiasi artinya penghargaan, jadi apresiasi arsitektur
pada intinya adalah penghargaan kepada arsitektur. Untuk menghargai arsitektur
bisa dijalankan secara dangkal sampai dalam. Secara dangkal dilakukan dengan
menikmatinya sebagai obyek yang bagus untuk dilihat atau dikunjungi, sedangkan
secara dalam dilakukan dengan melakukan pengamatan, pengukuran, dokumentasi
sampai pada pengulasannya hingga menghasilkan sebuah karya ilmiah. Walaupun
dikatakan sebagai penghargaan, tetapi hasil apresiasi tidak selalu berupa
pujian atau komentar yang positif. Bisa jadi penghargaannya dalam bentuk kritik
atau komentar yang negatif mengenai kekurangan yang disajikan oleh arsitektur.
Dalam menghargai arsitektur, paling sederhana seseorang
akan melakukan pemilihan arsitektur mana yang akan dikunjungi bersesuaian
dengan kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan relaksasi, orang dapat memilih
arsitektur yang menyajikan aktivitas sebagai kafe, gedung bioskop, taman kota
dan sejenisnya. Dalam satu sajian aktivitas oleh arsitektur ini bisa terdapat
pilihan mengenai bentuk dan suasana yang disajikan. Misalnya jika di suatu kota
terdapat beberapa kafe yang menawarkan tampilan arsitektur, maka orang dapat
memilih yang sesuai kebutuhannya, misalnya tampilan retro, ataukah tampilan
tradisional, atau lebih suka tampilan yang alami. Untuk penghargaan yang lebih
serius, orang dapat melakukan penelitian terhadap obyek arsitektur yang
dipilih. Pemilihan ini tentunya bersesuaian dengan bidang penelitian yang akan
dikerjakan dan dipertimbangkan terhadap penelitian lain yang serupa.
Kegiatan apresiasi arsitektur yang ditujukan untuk dapat
menghasilkan sebuah karya ilmiah membutuhkan kajian yang menentukan kualitas
capaian hasil. Dengan demikian diperlukan metoda untuk melakukannya menyangkut
persiapan, ketersediaan alat, sampai pada kelengkapan literatur untuk
pembahasannya. Begitu metoda ini ditetapkan, maka hal yang penting untuk
dipahami adalah kesiapan individu yang akan melakukan kegiatan apresiasi
arsitektur. Arsitektur sebagai sebuah sajian bangunan yang menghasilkan kesan
dan suasana, dapat direspon dengan pendayagunaan indera dari seseorang. Pemahaman
umum mengenai indera manusia untuk menikmati arsitektur hanyalah pada indera
mata. Padahal kenyataannya ketika orang berhadapan dengan arsitektur, maka
indera yang lain juga ikut merespon, misalnya kulit untuk merasakan hawa dan
hembusan angin, atau meraba tekstur dari suatu elemen arsitektur. Demikian juga
telinga dapat mendengar gemericik air dalam sebuah kolam hias, atau gaung suara
dari sebuah ruangan. Di sisi lain secara ekstrim, selayaknya kehadiran
arsitektur itupun juga bisa dirasakan dan dibedakan kualitasnya oleh orang yang
buta, walaupun pertimbangan desain arsitektur tetap diterapkan umumnya untuk
manusia yang normal.
Adakalanya indera manusia tidak bisa dijadikan acuan
berapresiasi secara tepat karena bersifat subyektif. Seseorang yang selama
hidupnya tinggal di daerah dingin, akan merasakan penghawaan yang berbeda
dengan seseorang yang selama hidupnya tinggal di daerah panas. Dalam kasus ini,
dapat dicarikan acuan dan alat untuk mengapresiasinya. Misalnya telah ada riset
yang menyatakan bahwa suhu nyaman dari ruang itu adalah 27 derajad, maka
tinggal diukur saja dengan thermometer apakah suhunya kurang atau lebih dari 27
derajad. Kesimpulannya bahwa selain indera manusia untuk mengapresiasi, maka
peralatanpun juga penting untuk dipergunakan jika memang diperlukan.
Selanjutnya peralatan ini dapat dipilih dan dipergunakan sesuai kebutuhan,
apakah berupa meteran, kompas, drum pengukur intensitas cahaya, higrometer
untuk mengukur tingkat kelembaban suatu tempat, dan lain sebagainya.
Subyektifitas untuk mengapresiasi artitektur ini juga bisa
terjadi karena perbedaan wawasan atau pengalaman dari apresiator. Seorang
arsitek akan berbeda cara mengapresiasi obyek arsitektur jika dibandingkan
dengan orang awam atau pengguna arsitektur (user). Seorang arsitek bisa
menelaah ketidak sesuaian langgam antara pilar bergaya bali yang dipadu dengan
umpak yang bergaya jawa, sedangkan pengguna (user) mungkin hanya akan merasakan
kurang enak dilihat, atau mungkin juga tidak merasakan dan lepas dari
perhatiannya. Seorang pengguna mengapresiasi suhu ruang yang tidak terlalu
nyaman, sedangkan seorang arsitek akan menganalisis ketidak nyamanan tersebut
karena penghawaan yang kurang ataukah karena radiasi panas matahari yang tidak
diantisipasi dengan elemen arsitektur. Akan tetapi perlu dipahami bahwa kadang
seorang arsitek perlu pula mempertimbangkan pendapat dari user untuk
berapresiasi. Seringkali arsitek melakukan penelitian dan menyebar kuisioner
untuk menerima dan mempertimbangkan pendapat pengguna atas kasus dari tampilan
arsitektur tertentu.
Pengguna arsitektur hanya berkepentingan untuk menikmati
karya arsitektur. Bagaimana sajian dari bentuk dan ruang yang menyampaikan
keindahan serta dapat menampung kenyamanan aktifitas. Agar seorang arsitek bisa
mendapat informasi yang baik, maka selayaknya ketika berapresiasi bisa
mensimulasikan dirinya sebagai pengguna. Menikmati arsitektur dengan
mengerahkan segenap potensi diri dari segi fisik dan mental. Bersantai dengan
serius merekam segala kejadian yang ada di sekelilingnya, menerima stimulus dan
memberi respon mengalir mengikuti kejadian. Simulasi seorang arsitek sebagai
pengguna ini seperti sikap empati dari seorang arsitek terhadap masyarakat yang
menikmati hasil karya arsitektur tanpa terbebani ilmu-ilmu arsitektur. Sungguh
sesuatu yang sulit bagi seorang arsitek yang sudah terbiasa terisi
pengetahuannya dengan berbagai macam teori dan informasi arsitektur, kemudian
di saat berapresiasi berusaha membersihkannya hingga pemikirannya menjadi
seperti hamparan kertas kosong yang siap ditulisi.
Ketika seorang arsitek berapresiasi kadangkala terpengaruh
dengan popularitas karya arsitektur yang sedang dikunjunginya, atau bahkan
terpengaruh oleh popularitas dari arsitek yang mendesainnya. Pengaruh-pengaruh
ini sedikit banyak pasti akan mengotori kejernihan penelaahan. Pengaruh lain
yang mungkin akan mengganggu kejernihan penelaahan tersebut bisa bersumber pada
kondisi psikologis dari apresiator sendiri, misalnya kegundahan hati atau
trauma pikiran pada hal tertentu. Adakalanya kolam yang luas dengan air yang
tenang bisa menenangkan jiwa dari orang yang melihatnya, tetapi tidak demikian
dengan orang yang punya trauma pikiran tidak menyenangkan terhadap air. Dengan
demikian kontrol perasaan memang mutlak diperlukan dalam berapresiasi. Kontrol
yang bisa membedakan bahwa perasaan yang muncul itu akibat subyektifitas diri
atau memang muncul akibat paparan kesan dan suasana dari arsitektur yang
dikunjunginya. Kontrol perasaan ini akan lebih tertata rapi ketika pikiran ikut
pula berperan dalam menentukan penelaahan. Tetapi tentunya justru jangan sampai
pikiran yang akhirnya mendominasi perasaan. Akan lebih baik jika pikiran dan
perasaan ini bsa saling mengisi dalam porsi yang setimbang.
Salah satu cara untuk mengontrol perasaan dengan pikiran
adalah melalui kemampuan untuk membaca karya arsitektur. Segenap teori dan
konsep arsitektur yang dipergunakan untuk menelaah dihindarkan dari segala
doktrin, misalnya bahwa ‘golden section’ itu selalu indah, atau konsep ‘less is
more’ dengan ketiadaan yang dianggap memiliki kelebihan. Teori dan konsep
arsitektur yang dipergunakan untuk mengapresiasi dipilih secara mendasar saja,
mengetahui bahwa proporsi merupakan perbandingan dari satu bagian dengan bagian
yang lain. Jika hasilnya dirasakan indah, maka bisa diungkapkan sewajarnya
keindahan tersebut tanpa dihubungkan dengan ‘golden section’. Demikian pula
ketika merasakan bahwa tektonika adalah seni dalam mengolah struktur dan
konstruksi, di mana akhirnya mendapatkan sebuah ukiran dan tekstur yang indah, maka
selayaknya dikatakan indah pula tanpa terpengaruh konsep ‘less is more’.
Ketika seorang apresiator sudah bisa membaca obyek
arsitektur, langkah selanjutnya adalah kemampuan untuk menilai. Obyektifitas
dalam penilaian ini juga selayaknya terhindarkan dari popularitas karya
arsitektur dan popularitas dari arsitektnya. Memang biasanya arsitek yang
populer karena kualitasnya akan menghasilkan desain yang berkualitas pula,
sehingga arsitektur hasil karya mereka demikian keratif dan indah untuk
diapresiasi. Namun jika apresiator karya dari arsitek berkualitas itu
terpengaruh dengan popularitas arsitek, dia tidak akan dapat menemukan satu
atau dua titik kelemahan dari desain arsitektur. Demikian pula ketika melakukan
apresiasi terhadap obyek arsitektur dari arsitek biasa yang kurang populer,
jika terpengaruh mungkin tidak akan mendapatkan hasil yang menakjubkan walau
kemudian ada satu bagian arsitektur yang memaparkan hasil ide kreatif dan
indah. Dalam menilai karya arsitektur, selayaknya apresiator cukup memiliki
prinsip untuk menentukan tolok ukur penilaiannya. Entah berdasarkan teori baku
mengenai arsitektur yang telah dipaparkan oleh penulis arsitektur yang sudah
ahli, atau dengan tolok ukur yang dibuat sendiri berdasarkan situasi penilaian
tertentu.
Adakalanya kegiatan apresiasi dilakukan tidak pada satu
obyek, tetapi bisa dua atau lebih obyek dengan tujuan untuk membandingkannya.
Dalam melakukan studi banding ini selayaknya mempertimbangkan kualitas dari
obyek arsitektur yang dipilih untuk dibandingkan. Lebih baik menilai secara
umum terlebih dahulu obyek yang akan dibandingkan dan menetapkan bahwa yang
akan diapresiasi itu kualitasnya dapat sesuai dengan kedalaman ilmu yang
dibutuhkan. Selanjutnya pemilihan juga perlu dipertimbangkan berdasarkan topik
dan tujuan pembandingannya. Penulisan pembandingan obyek arsitektur yang
tersusun secara sistematis akan mempermudah, memperjelas dan mengarahkan agar
yang dilakukan dapat menghasilkan sebuah kesimpulan berguna. Kesimpulan dari
hasil apresiasi dengan membandingkan obyek ini dapat menjadi wacana bersama
untuk dipergunakan sesuai keperluan dari kegiatan desain arsitektur. Dengan
seringnya membandingkan obyek-obyek arsitektur akan dapat didapatkan wawasan
yang lebih luas, baik dari pertimbangan perkembangan waktu dan teknologi
terciptanya karya arsitektur, ataupun dari karakteristik desain dari pribadi
arsitek-arsitek berkualitas yang mendesain.
Telah di sebutkan sebelumnya bahwa kegiatan apresiasi
arsitektur bisa dilakukan dengan dangkal ataupun dalam. Untuk studi banding
obyek arsitektur yang berjumlah banyak, mungkin bisa dipilih kegiatan apresiasi
yang tidak terlalu mendalam, karena tujuannya memang untuk mencari kesimpulan
dari karakteristik beberapa obyek. Bahkan kegiatan apresiasi yang dilakukan
juga bisa dilakukan secara virtual, yakni dengan mengamati foto-foto atau film
tentang obyek arsitektur. Apresiasi arsitektur secara virtual ini bisa
dilakuakn dengan mengumpulkan data baik dari buku, majalah maupun data web di
internet. Atau jika seorang apresiator memiliki kendala untuk mengunjungi obyek
secara langsung bisa menyuruh surveyor untuk mengambil foto-foto atau film
sesuai dengan arahannya berdasarkan kebutuhan. Seorang yang ahli bisa saja
menempati posisi sebagai pimpinan apresiator yang tidak terjun langsung ke
lokasi, dan mengendalikan beberapa orang apresiator junior yang turun ke
lapangan untuk mencari data. Sepertinya memang apresiasi arsitektur secara riil
itu lebih baik daripada secara virtual, tetapi hal ini juga bukan merupakan
jaminan karena belum tentu sesuatu yang dihasilkan dari apresiasi riil itu akan
lebih baik dari apresiasi virtual pula.
Hasil kegiatan apresiasi arsitektur dapat dituangkan dalam
beragam karya, dari yang bersifat seni sampai pada karya yang bersifat ilmiah.
Karya seni hasil apresiasi arsitektur dapat berupa karya fotografi, sketsa
sampai pada karya sastra berupa puisi atau cerita. Sedangkan karya ilmiah bisa
berupa artikel, penelitian sampai pada buku. Buku yang baik adalah buku teks
(textbook) karena bisa dipergunakan sebagai literatur yang valid bagi pembuatan
karya ilmiah yang lain. Sedangkan buku populer yang dibuat tanpa mengindahkan
kaidah penulisan buku ilmiah mungkin hanya akan menjadi pelengkap dari bacaan
biasa saja.
b. Kritik
Arsitektur
Metode
kritiknya bisa menggunakan metode Ganzheit yang memulai dari pemahaman atas
keseluruhan atau totalitas karya, maupun metode analitis yang memulai dari
pemahaman, pemerian, dan penganalisisan setiap unsur atau komponen pembentuk
karya tersebut. Memang agak disayangkan bahwa arsitek Indonesia yang ketimuran
ini, sebagaimana halnya dengan orang Timur pada umumnya sangat sopan santun,
penuh dengan tenggang rasa. Tidak tega melontarkan kritik yang telah secara
terbuka, lebih suka berdesas-desus di belakang panggung. Memang barangkali
lebih nikmat, akan tetapi jelas tidak mendidik.
Melalui
wahana kritik konstruktif yang gamblang, dengan bahasa yang komunikatif mudah
dicerna, tanpa perlu terjerumus ke pendangkalan, kiranya semua pihak dapat
saling belajar. Di satu pihak kesuksesan dan keberhasilan dapat semakin
ditingkatkan, sedangkan di lain pihak kegagalan yang telah terlanjur tidak akan
terulang.
Jika upaya
membudayakan apresiasi dan kritik ini sudah bisa dirintis, diharapkan
kesenjangan persepsi dapat dijembatani dan penilaian yang serba nisbi atas
dasar selera subjektif dapat diberi bingkai yang jelas dalam bentuk pakat dan
kesamaan bahasa. Tak akan ada lagi yang berani berujar bahwa kuda yng dicat
belang itu namanya juga zebra.
Kritik Arsitektur adalah merupakan rekaman dari tanggapan terhadap
lingkungan buatan (built environment). Kritik meliputi semua tanggapan termasuk
tanggapan negatif dan pada hakekatnya kritik bermaksud menyaring dan melakukan
pemisahan.
Metode kritik
arsitektur terdiri dari :
·
Kritik Normatif; kritik
ini berdasarkan pada pedoman baku normatif.
·
Kritik Penafsiran atau Kritik
Interpretif; kritik ini merupakan penafsiran dan bersifat pribadi.
·
Kritik Deskriptif;
bersifat tidak menilai, tidak menafsirkan, semata-mata membantu orang melihat
apa yang sesungguhnya ada, menjelaskan proses terjadinya perancangan bangunan.
Kritik Interpretif (Interpretive
Criticism)
• Kritikus
sebagai seorang interpreter atau pengamat yang sangat personal
•Bentuk kritik cenderung subjektif namun tanpa
ditunggangi oleh klaim doktrin, klaimobjektifitas melalui pengukuran yang
terevaluasi.
• Mempengaruhi pandangan orang lain untuk bisa
memandang sebagaimana yang kita lihat
• Menyajikan
satu perspektif baru atas satu objek atau satu cara baru memandang bangunan
(biasanya perubahan cara pandang dengan “metafor”
terhadap bangunan yang kita lihat)
• Melalui rasa artistiknya mempengaruhi
pengamat merasakan sama sebagaimana yang ia alami
•Membangun satu karya “bayangan” yang independen
melalui bangunan sebagaimana miliknya, ibarat sebuah kendaraan.
•
Kritik ini tidak
diposisikan sebagai bentuk penghakiman (judgement) sebagaimana yang terjadi
pada Normatif Criticism.
•
Bentuk kritiknya
lebih kepada sekadar anjuran yang mencoba bekerja dengan penjelasan lebih
terperinci yang kadangkala juga banyak hal yang terlupakan
•
Isi kritik tidak
mengarahkan pada upaya yang memandang rendah orang lain
•
Kritikus mencoba
menyajikan satu arah topik yang dipandang perlu untuk kita perhatikan secara
bersama tentang bangunan
• Kritikus membantu kita untuk melihat manfaat yang
telah dihasilkan oleh sang arsitek melalui bangunannya dan berusaha menemukan
pesona dimana kita telah mengira ia hanyalah sebuah objek yang menjemukan
• Dalam hukum advocatory Criticism, kritiknya
tercurah terutama pada usaha mengangkat apresiasi pengamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar