Ekologi Arsitektur
1. Pengertian Ekologi
Ekologi
yang pertama kali berasal dari seorang biologi Jerman Ernest Haeckel, 1869.
Berasal dari bahasa Yunani “Oikos” (rumah tangga) dan “logos” (ilmu), secara
harfiah ekologi berarti ilmu tentangg rumah tangga makhluk hidup. Yang
merupakan makhluk hidup adalah lingkungan hidupnya.
Menurut
Ernest Haeckle ekologi adalah “ilmu yang mempelajari seluk beluk ekonomi alam,
suatu kajian hubungan anorganik serta lingkungan organik di sekitarnya”.
Menurut C. Elton (1927) ekologi adalah ilmu
yang mengkaji sejarah alam atau perkehidupan alam (natural history) secara
ilmiah, Menurut Andrewartha (1961) ekologi adalah ilmu yang membahas penyebaran
(distribusi) dan kemelimpahan oraganisme. Sedangkan Eugene P. Odum (1963) menyatakan
bahwa ekologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur dan fungsi alam. Charles
J.
Krebs
(1978) menyatakan ekologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji
interaksi-interaksi yang menentukan penyebaran dan kemelimpahan organisme. Miller dalam Darsono (1995:16) ”Ekologi
adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme dan sesamanya serta
dengan lingkungan tempat tinggalnya”
Odum
dalam Darsono (1995: 16) “Ekologi adalah kajian struktur dan fungsi alam,
tentang struktur dan interaksi antara sesame organism dengan lingkungannya dan
ekologi adalah kajian tentang rumah tangga bumi termasuk flora, fauna,
mikroorganisme dan manusia yang hidup bersama saling tergantung satu sama lain”
Resosoedarmo
dkk, (1985:1)“ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara
makhluk hidup dengan lingkungannya”.
Subagja
dkk, (2001:1.3). “Ekologi merupakan bagian ilmu dasar”
Dapat disimpulkan bahwa ekologi adalah ilmu
dasar yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antar makhluk hidup dengan
lingkungannya.
Prinsip-prinsip ekologi tersebut antara lain:
1. Flutuation = Prinsip
fluktuasi menyatakan bahwa bangunan didisain dan dirasakan sebagai tempat
membedakan budaya dan hubungan proses alami. Bangunan seharusnya mencerminkan hubungan
proses alami yang terjadi di lokasi dan lebih dari pada itu membiarkan suatu
proses dianggap sebagai proses dan bukan sebagai penyajian dari proses,
lebihnya lagi akan berhasil dalam menghubungkan orang-orang dengan kenyataan
pada lokasi tersebut.
2. Stratification =
Prinsip stratifikasi menyatakan bahwa organisasi bangunan seharusnya muncul
keluar dari interaksi perbedaan bagian-bagian dan tingkat-tingkat. Semacam
organisasi yang membiarkan kompleksitas untuk diatur secara terpadu.
3. Interdependence
(saling ketergantungan) = Menyatakan bahwa hubungan antara bangunan
dengan bagiannya adalah hubungan timbal balik. Peninjau (perancang dan pemakai)
seperti halnya lokasi tidak dapat dipisahkan dari bagian bangunan, saling
ketergantungan antara bangunan dan bagian-bagiannya berkelanjutan sepanjang
umur bangunan.
2. Pengertian Arsitektur
Definisi Arsitektur Menurut Para Ahli
Berdasarkan kamus besar bahasa
Indonesia, kata arsitektur (architecture), berarti
seni dan ilmu membangun bangunan. Menurut asal kata yang membentuknya, yaitu
Archi = kepala, dan techton = tukang, maka architecture adalah karya kepala
tukang.
Amos Raport
menjelaskan bahwa arsitektur adalah segala macam pembangunan
yang secara sengaja dilakukan untuk mengubah lingkungan fisik dan menyesuaikannya
dengan skema-skema tata cara tertentu lebih menekankan pada unsur social
budaya.
Cornelis Van De Ven menyatakan
bahwa arsitektur berarti menciptakan ruang dengan cara yang benar-benar
direncanakan dan dipikirkan. Pembaharuan arsitektur yang berlangsung terus
menerus sebenarnya berakar dari pembaharuan konsep-konsep ruang.
Benjamin Handler
menyatakan bahwa arsitek adalah seniman struktur yang
menggunakan struktur secara estetis berdasarkan prinsip-prinsip struktur itu
sendiri. Djauhari Sumitardja
menyebutkan bahwa arsitektur merupakan sesuatu yang dibangun
manusia untuk kepentingan badannya (melindungi diri dari gangguan) dan
kepentingan jiwanya (kenyamanan, ketenangan, dll). Vitruvius menyebutkan ada tiga aspek
yang harus disintesiskan dalam arsitektur yaitu firmitas (kekuatan atau
konstruksi), utilitas (kegunaan atau fungsi) dan venustas (keindahan atau
estetika).
Brinckmann mengatakan
bahwa arsitektur merupakan kesatuan antara ruang dan bentuk. Arsitektur adalah
penciptaan ruang dan bentuk.
Buowkundige menjelaskan arsitektur adalah
mendirikan bangunan dari segi keindahan (sedangkan mendirikan bangunan dari
segi konstruksi disebut ilmu bangunan).
3. Pengertian Ekologi Arsitektur
Atas dasar pengetahuan dasar-dasar ekologi yang telah diuraikan, maka
perhatian pada arsitektur sebagai ilmu teknik dialihkan kepada arsitektur
kemanusiaan yang memperhitungkan juga keselarasan dengan alam dan kepentinagn
manusia penghuninya. Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan
kehidupan manusia dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan alamnya
dinamakan arsitektur ekologis atau eko-arsitektur. (Krusche, Per et sl. Oekologisches Bauen.
Wiesbaden, Berlin 1982. Hlm.7
Arsitektur ekologis merupakan pembangunan
berwawasan lingkungan, dimana memanfaatkan potensi alam semaksimal mungkin.
Info lingkungan.
Kualitas arsitektur biasanya sulit diukur, garis
batas antara arsitektur yang bermutu dan yang tidak bermutu. Kualitas
arsitektur biasanya hanya memperhatikan bentuk bangunan dan konstruksinya,
tetapi mengabaikan yang dirasakan sipengguna dan kualitas hidupnya. Apakah
pengguna suatu bangunan merasa tertarik.
Pola Perencanaan Eko-Arsitektur selalu memanfaatkan alam sebagai
berikut :
§ Dinding,
atap sebuah gedung sesuai dengan tugasnya, harus melidungi sinar panas, angin
dan hujan.
§ Intensitas
energi baik yang terkandung dalam bahan bangunan yang digunakan saat
pembangunan harus seminal mungkin.
§ Bangunan
sedapat mungkin diarahkan menurut orientasi Timur-Barat dengan bagian
Utara-Selatan menerima cahaya alam tanpa kesilauan
§ Dinding
suatu bangunan harus dapat memberi perlindungan terhadap panas. Daya serap
panas dan tebalnya dinding sesuai dengan kebutuhan iklim/ suhu ruang di
dalamnya. Bangunan yang memperhatikan penyegaran udara secara alami bisa
menghemat banyak energi.
4. Unsur pokok arsitektur ekologi
- Udara
Udara
untuk bernafas . hubungann erat antara udara pernafasan dan kehidupan adalah
pengalaman kehidupan manusia. Makin tercemar udara maka kualitas kehidupan
semakin menurun,
- Air
Air sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup di muka bumi.
- Api
Api
(energi), sebagai sumber energy dan sumber salah satu sumber kehidupan bagi
makhluk hidup.
- Bumi
Bumi menjadi sumber bahan baku dan menjadi tempat kehidupan makhluk
hidup.
5. Dasar-dasar
Arsitektur Ekologi
Arsitektur atau
eko-arsitektur lebih indah, lebih tepat guna dari pada gedung-gedung biasanya,
yang menonjol adalah arsitektur yang berkualitas tinggi. Kualitas biasanya
sulit diukur dan ditentukan, terlebih lagi dari bidang arsitektur. Dimana garis
batas antara arsitektur yang bermutu tinggi (berkualitas) dan arsitektur yang
biasa saja.
Pembahasan kualitas di
bidang arsitektur biasanya hanya memperhatikan bentuk gedung dan konstruksinya,
tetapi mengabaikan tokoh utamanya yaitu manusia.Dalam eko-arsitektur terdapat
dasar-dasar pemikiran yang perlu diketahui, antara lain :
a. Holistik, Dasar
eko-arsitektur yang berhubungan dengan sistem keseluruhan, sebagai satu
kesatuan yang lebih penting dari pada sekedar kumpulan bagian.
b. Memanfaatkan pengalaman
manusia Hal ini merupakan tradisi dalam membangun dan merupakan pengalaman
lingkungan alam terhadap manusia.
c. Pembangunan sebagai proses
dan bukan sebagai kenyataan tertentu yang statis.
d. Kerja sama antara manusia
dengan alam sekitarnya demi keselamatan kedua belah pihak.
Dengan mengetahui dasar-dasar eko-arsitektur di
atas jelas sekali bahwa dalam perencanaan maupun pelaksanaan,
eko-arsitektur tidak dapat disamakan dengan arsitektur masa kini. Perencanaan
eko-arsitektur merupakan proses dengan titik permulaan lebih awal. Dan jika
kita merancang tanpa ada perhatian terhadap ekologi maka sama halnya dengan
bunuh diri mengingat besarnya dampak yang terjadi akibat adanya klimaks secara
ekologi itu sendiri. Adapun pola perencanaan eko-arsitektur yang berorientasi
pada alam secara holistik adalah sebagai berikut :
a. Penyesuaian pada lingkungan
alam setempat.
b. Menghemat energi alam yang
tidak dapat diperbaharui dan mengirit penggunaan energi.
c. Memelihara sumber
lingkungan (air, tanah, udara).
d. Memelihara dan memperbaiki
peredaran alam dengan penggunaan material yang masih dapat digunakan di masa
depan.
e. Mengurangi ketergantungan
pada pusat sistem energi (listrik, air) dan limbah (air limbah, sampah).
f. Penghuni ikut secara aktif
dalam perencanaan pembangunan dan pemeliharaan perumahan.
g. Kedekatan dan kemudahan
akses dari dan ke bangunan.
h. Kemungkinan penghuni
menghasilkan sendiri kebutuhan sehari-harinya.
i.
Menggunakan teknologi sederhana (intermediate
technology), teknologi alternatif atau teknologi lunak
6. Cakupan Ekologi Arsitektur
Sebenarnya, eko-arsitektur tersebut mengandung juga bagian-bagian dari
arsitektur biologis (arsitektur kemanusiaan yang memperhatikan kesehatan),
arsitektur alternative, arsitektur
matahari (dengan memanfaatkan energi surya), arsitektur bionic (teknik sipil dan konstruksi yang memperhatikan kesehatan
manusia), serta biologi pembangunan.Eko-arsitektur tidak menentukan apa yang
seharusnya terjadi dalam arsitektur karena tidak ada sifat khas yang mengikat
sebagai standar atau ukuran baku. Namun, eko-arsitektur mencakup keselarasan
antara manusia dan lingkungan alamnya.
a. Penyelidikan kualitas
Tujuan setiap perencanaan eko-arsitektur yang memperhatikan cipta dan
rasa adalah kenyamanan penghuni. Sayangnya, kenyamanan tidak dapat diukur
dengan alat sederhana seperti lebar dan panjang ruang dengan meter, melainkan
seperti yang telah diuraikan tentang kualitas , penilaian kenyamanan selalu
sangat subjektif dan tergantung pada berbagai faktor. Kenyamanan dalam suatu
ruang tergantung secara immaterial dari kebudayaan dan kebiasaan manusia
masing-masing, dan secara material terutama dari iklim dan kelembapan, bau dan
pencemaran udara.
b. Bentuk dan struktur bangunan
Bentuk dan struktur bangunan merupakan masalah kualitas dalam
perencanaan eko-arsitektur, walaupun terdapat beberapa masalah kualitas yang
lain yang berhubungan, terutama kualitas bentuk yang tidak dapat diukur maupun
diberi standar.
c. Pencahayaan dan warna
Pencahayaan dan warna memungkinkan pengalaman ruang melalui mata dalam
hubungannya dengan pengalaman perasaan. Pencahayaan (penerangan alami maupun
buatan) dan pembayangan mempengaruhi orientasi di dalam ruang.
Bagian ruang yang tersinari dan yang dalam
keadaan gelap akan menentukan nilai psikis yang berhubungan dengan ruang (misalnya
dengan perabot, lukisan, dan hiasan lainnya). Cahaya matahari memberi kesan
vital dalam ruang, terutama jika cahaya tersebut masuk dari jendela yang
orientasinya ke timur..
Oleh karena pencahayaan matahari di daerah
tropis mengandung gejala sampingan dengan sinar panas, maka di daerah tropis
tersebut manusia sering menganggap ruang yang agak gelap sebagai sejuk dan
nyaman. Akan tetapi, untuk ruang kerja ketentuan tersebut melawan kebutuhan
cahaya untuk mata manusia. Karena pencahayaan buatan dengan lampu dan
sebagainya mempengaruhi kesehatan manusia, maka dibutuhkan pencahayaan alam
yang terang tanpa kesilauan dan tanpa sinar panas. Untuk memenuhi tuntutan yang
berlawanan ini, maka sebaiknya sinar matahari tidak diterima secara langsung,
melainkan dicerminkan/dipantulkan sinar tersebut dalam air kolam (kehilangan
panasnya) dan lewat langit-langit putih berkilap yang menghindari penyilauan
orang yang bekerja di dalam ruang.
Kenyamanan dan kreativitas dapat juga
dipengaruhi oleh warna seperti dapat dipelajari pada alam sekitar dengan warna
bunga. Oleh karena itu, warna adalah salah satu cara untuk mempengaruhi ciri
khas suatu ruang atau gedung. Masing-masing warna memiliki tiga ciri khusus,
yaitu sifat warna, sifat cahaya (intensitas cahaya yang direfleksi), dan
kejenuhan warna (intensitas sifat warna). Makin jenuh dan kurang bercahayanya
suatu warna, akan makin bergairah. Sebaliknya, hawa nafsu dapat diingatkan
dengan penambahan cahaya.
Pada praktek pengetahuan, warna juga dapat dimanfaatkan
untuk mengubah atau memperbaiki proporsi ruang secara visual demi peningkatan
kenyamanan. Misalnya :
( Tomm,
Arwed. Oekologisch Planen und Bauen. Braunschweig 1992. Hlm.23 )
·
Langit-langit yang terlalu tinggi dapat ‘diturunkan’ dengan warna yang
hangat dan agak gelap
·
Langit-langit yang agak rendah diberiwarna putih atau cerah, yang
diikuti oleh 20 cm dari dinding bagian paling atas juga diberi warna putih,
yang memberi kesan langit-langit seakan melayang dengan suasana yang sejuk.
·
Warna-warna yang aktif seperti merah atau oranye pada bidang yang luas
memberi kesan memperkecil ruang.
·
Ruang yang agak sempit panjang dapat berkesan pendek dengan memberi
kesan memperkecil ruang.
·
Ruang yang agak sempit panjang dapat berkesan pendek dengan memberi
warna hangat pada dinding bagian muka, sedangkan dapat berkesan panjang dengan
menggunakan warna dingin.
·
Dinding samping yang putih memberi kesan luas ruang tersebut.
·
Dinding tidak seharusnya dari lantai sampai langit-langit diberi warna
yang sama. Jikalau dinding bergaris horizontal
ruang berkesan terlindung, sedangkan yang bergaris vertical berkesan lebih tinggi.
1.1.7. Sejarah
Ekologi Arsitektur
a. Perkembangan Komunitas Manusia Menurut Para
Ahli
o
Menurut Dansereau
Dansereau mengelompokkan
perkembangan komunitas manusia menjadi 6 tingkatan atau stadium, yaitu:
1. Stadium I : Gathering
2. Stadium II : Hunting
and fishing
3. Stadium III : Herding
4. Stadium IV : Agriculture
5. Stadium V :
Industry
6. Stadium VI : Urbanization
o
Miller Jr.
Miller Jr. mengelompokkan perkembangan
komunitas manusia menjadi 5 tingkatan, yaitu:
1. Masyarakat
pemburu (pengumpul primitif)
2. Masyarakat
pertanian
3. Masyarakat
industri
4. Masyarakat
warga bumi
o Laura C. Zeiher
Laura C. Zeiher membagi
perkembangan komunitas manusia menjadi 4 kelompok, yaitu:
1.
Hunting
and Gathering
2.
Civilization
3.
Agricultural
Civilization
4.
Industrial
Civilization
b.
Penjelasan
Perkembangan Komunitas Manusia
Berikut
penjelasan dari masing-masing stadium atau tingkatan perkembangan komunitas
manusia.
1. Stadium
I atau Gathering
Gathering
merupakan kegiatan penghidupan yang terdiri dari usaha mengumpulkan bahan
makanan dari alam, seperti umbi, daun-daun, buah-buahan, telur, kerang, dan
lain-lain. Lingkungan prilaku masyarakat pada stadium I tersebut relatif
terbatas. Kegiatan penghidupan sehari-hari dibatasi oleh daya gerak fisik tanpa
peralatan transportasi, keterbatasan dalam teknik menyimpan dan mengawetkan
makanan, jumlah tenaga kerja yang kecil (jumlah anggota masyarakat terbatas),
ketergantungan pada sumber air yang ada, dan keterbatasan pengetahuan mengenai
cara-cara menguasai dan mengadakan manipulasi unsur-unsur lingkungan hidup yang
penting untuk kelangsungan hidup sendiri dan keturunannya. Jadi kelangsungan
hidup masyarakat pada stadium I sangat bergantung pada lingkungan, karena mereka
hanya bisa mengambil bahan makanan langsung dari alam tanpa bisa
menghasilkannya kembali.
Mayarakat
stadium I merupakan kelompok-kelompok sekitar 20-50 individu, maka dampak
konsumtif kelompok yang relatif kecil itu, dengan teknologinya yang sederhana,
praktis tidak berarti dalam kondisi ekologi yang normal. Alam dengan mudah
dapat mengisi kembali apa yang sudah diambil melalui berbagai proses
regenerasinya. Kehidupan masyarakatnya juga masih nomaden atau
berpindah-pindah. Jika bahan makanan di suatu tempat telah habis, maka mereka
berpindah menuju tempat lain yang masih menyediakan bahan makanan. Karena
hidupnya masih nomaden, maka tempat tinggal mereka pun berpindah-pindah. Tempat
tinggal masyarakat pada Stadium I ini masih terbilang sangat sederhana, karena
mereka hanya dapat memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam, seperti goa atau
tinggal di bawah pepohonan.
2. Stadium
II : Hunting and Fishing
Pada stadium II
atau Hunting and Fishing adalah
kegiatan berburu dan menangkap ikan. Lingkungan perilaku masyarakatnya juga
masih relatif terbatas seperti masa Stadium II, alat-alat berburu dan menangkap
ikan masih sederhana seperti kapak perimbas. Kebudayaan masyarakat pada stadium
II, pada umumnya terdapat kode etik untuk membunuh hewan secara berlebihan,
yaitu dalam jumlah yang melebihi kebutuhan. Pola ini merupakan suatu faktor
yang sangat berarti dan berhubungan dengan pelestarian sumber-sumber material
dan energi yang dibutuhkan masyarakat itu.
Alat yang digunakan
untuk berburu yakni terbuat dari batu, tulang, tanduk, dan kayu. Peralatan pada masa itu antara lain kapak genggam,
tombak, panah dan alat-alat serpih. Bentuknya masih kasar dan tidak diasah.
Kehidupan
masyarakat pada stadium II juga masih nomaden. Mereka hidup mengembara dari
hutan satu ke hutan yang lain. Daerah yang cocok untuk menghindari hujan, terik
matahari yang panas, dan hawa dingin biasanya tidak terlalu jauh dari sungai,
danau, atau sumber air yang lain. Ada juga yang berlindung di gua-gua sebagai
tempat tinggal sementara. Gua-gua yang dipilih biasanya terletak di
lereng-lereng bukit yang terjal. Untuk mencapainya, mereka menggunakan tangga
yang dapat ditarik ke dalam gua jika ada bahaya yang mengancam.
Masyarakat Food Gathering dan Hunting and Fishing terbatas pada sejumlah suku asing tertentu
seperti suku-suku asli Australia seperti Aborigin, Bushmen di Afrika Selatan,
suku-suku di Kepulauan Andaman, kaum Shoshoni di Benua Amerika, kaum eskimo,
dan suku Pigmi.
Sebagai
contoh, suku Indian membuat Poeblo Bonito di Chaco Canyon, New Mexico pada abad
10 dan 11. Kondisi topografinya menyediakan suatu habitat bagi manusia dengan
pertahan dan perlindungan dari cuaca dingin dan panas. Suatu kawasan atau
wilayah dihuni oleh 1200. Mereka membuat ruang bawah tanah untuk upacara yang
disebut Kivas yang terbuat dari batu dan teras bata. Dinding bagian dalam dari
Canyon berorientasi pada musim panas dan musim dingin. Untuk mempertahankan
temperatur di sepanjang tahun, siang dan malam. Suku Indian di Amerika Utara
membuat suatu tenda sebagai tempat tinggal mereka yang terbuat dari kulit
binatang yang dapat memberikan perlindungan dan menampung sejumlah pengembara.
Hunting and gatering mempunyai efek atau pengaruh terhadap lingkungan dan
menimbulkan kerusakan. Jumlah binatang punah di daerah Eurasia masih dalam
skala kecil, tapi di tempat lain perusakan terjadi secara besar-besaran. Di
Ausralia, 86% binatang punah pada 100.000 tahun yang lalu. Penduduk asli atau
Aborigin sudah melakukan pemburuan yang menyebabkan kepunahan pada 40.000 tahun
yang lalu. Pemunahan terhadap sumber makanan dan habitat alami manusia itu
berpengaruh terhadap kematian. Hal ini
sebanding dengan angka kepunahan di Amerika Selatan yang mencapai 80% dan di Amerika
Utara yang mencapai 73%.
Meskipun
demikian, kehidupan berburu sangat stabil untuk ratusan ribu tahun. Kemudian
sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu, metode yang digunakan manusia untuk
memperoleh makanan dan menciptakan tempat perlindungan mulai berubah.
Pengembangan dari penanaman agrikultur membuat suatu perubahan yang radikal
dalam sejarah manusia.
3. Stadium
III atau Herding
Herding merupakan kegiatan mengembala atau kebudayaan nomadik. Ciri-ciri
kebudayaan mengembala meliputi
kegiatan penghidupan yang terdiri dari memelihara dan membiakkan hewan-hewan
tertentu, menghasilkan produk-produk dari hewan itu (kulit, bulu, produk susu,
dan lain-lain), dan membarter produk-produk itu dengan bahan makanan
nabati. Dalam usaha memelihara dan
membiakan hewan itu, masyarakat perlu mengembala ternaknya dari satu tempat ke
tempat lain untuk memperoleh padang rumput yang cukup dan segar. Siklus
berpindah-pindah itu dengan sendirinya terpengaruh musim, baik dari segi
persediaan makanan ternak maupun dari persediaan bahan makanan nabati yang
diperlukan oleh masyarakat gembala itu sendiri.
Secara ekologi
kebudayaan mengembala bertahan karena mengisi suatu kekosongan. Dengan hidup
berpindah-pindah, wilayah penunjang kehidupan ternak sangat luas sehingga hal
ini memungkinkan pembiakan ternak dalam jumlah yang besar, sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh
petani yang bermukim tetap. Sejarah penjinakan atau domestikasi berbagi hewan
peliharaan yang dimulai dari bentuk-bentuk yang liar adalah sebagai berikut untuk
:
Domba : 9000
tahun SM di Shanidar, Irak.
Kambing : 7500
tahun SM di Ali Kosh, Iran.
Babi : 7000
tahun SM di Cayonu, Turki.
Unta : 3000
tahun SM di Rusia Selatan.
Kuda : 3000
tahun SM di Ukraine, Rusia.
Keledai : 3000
tahun SM di lembah sungai Nil, Mesir.
Penjinakan
anjing (nenek moyang serigala), meskipun jasanya banyak dignakan di kalangan
masyarakat gembala, tetapi tidak dimulai di daerah bioma padang rumput.
Bekas-bekas anjing peliharaan anjing tertua ditemukan di Idaho, Amerika dan
Inggris, umurnya 8400-7500 tahun SM. Jasa anjing itu semula digunakan dalam kebudayaan berburu (stadium II).
Domestikasi berbagai jenis hewan pada hakekatnya merupakan suatu penyederhanan
proses berburu.
Di samping
kegiatan mengembala, masyarakat nomadik masih mempunyai dua usaha penghidupan.
Yang pertama adalah mengumpulkan makanan dan berburu seperti stadiun I dan II.
Usaha yang merupakan warisan dari kebudayaan yang lebih kuno, merupakan suatu
usaha sambilan yang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat nomadik itu dari
masyarakat agraris. Usaha yang kedua adalah berperang atau menyerbu sasaran
secara efisien. Pada suku Mongol dan Arab, kebudayaan berperang telah
berkembang sedemikian rupa sehingga mereka berhasil berkuasa di suatu wilayah
yang luas dan makmur karena bersifat agraris.
Dalam sejarah
penyerbuan suku-suku nomadik ini terjadi secara besar-besaran sejak 4000 tahun
yang lalu, dan berlangsung secara bergelombang. Dari segi sosial-budaya,
sejarah penyerbuan suku nomadik itu juga meningkatkan difusi kebudayaan antar
daerah, suatu gejala yang juga menguntungkan dari segi ekologi.
Di Asia Tenggara
termasuk wilayah Indonesia, kebudayaan tidak berkembang karena keadaan alamnya
yang berupa hutan tropis yang lebat dan hijau, adaptasi terhadap alam tersebut
merupakan kebudayaan Stadium I dan II yang berangsur-angsur mengalih ke
kebudayaan Stadium IV yaitu Agraris. Namun dengan catatan bahwa pertanian yang
dilaksanakan adalah pertanian yang berpindah-pindah. Sebagian hutan diratakan
untuk dijadikan ladang, dan kemudian ditinggalkan karena hasil panen yang
menurun dan penanaman menjadi sulit akibat pertumbuhan hutan yang pulih
kembali. Pertumbuhan nomadik agraris bukan saja meliputi suku-suku terasing
yang tersebar di Indonesia, tetapi juga dapat ditemukan di daerah-daerah yang
sudah mantap perkembangan agrarisnya seperti di Pulau Jawa.
4.
Stadium
IV atau Agriculture
Agriculture merupakan kebudayaan agraris. Setelah melewati masa berburu dan mengumpulkan makanan manusia mulai mengenal
masa bercocok tanam pada akhir zaman mesolitikum. Cara bercocok tanam pertama
kali dilakukan dengan berhuma, yaitu dengan cara menebangi hutan, kemudian
ditanami jenis padi-padian, ubi kayu, dan ubi jalar. Dengan dikenalnya sistem berhuma ini, mereka terpaksa
hidup lebih lama ditempat itu. Pada masa inilah mulai berkembangnya
perkampungan-perkampungan dan selanjutnya terbentuklah kesatuan-kesatuan suku,
dan marga yang masing-masing dipimpin oleh kepala sukunya yang dipilih
berdasarkan prinsip primus interpares.
Kehidupan
masyarakat yang makin teratur menuntut kerja sama dan gotong royong dari para
anggotanya. Pembagian kerja makin rinci sehingga terbentuklah warga masyarakat
dengan keahliannya masing-masing, seperti ada yang membuat alat-alat pertanian,
mengolah tanah pertanian, menjual hasil pertanian, membuat alat-alat rumah
tangga, dan lain-lain. Disamping mengenal cara-cara berhuma dan bersawah,
manusia pada masa itu memiliki kepandaian mengawetkan makanan. Misalnya dengan
cara memberi garam atau ramuan tertentu pada daging atau ikan agar dapat
bertahan lebih lama. Kegiatan perekonomian semakin kompleks. Pertanian,
perdagangan, pertukangan, dan pelayaran semakin maju. Hal itu memungkinkan pola
kehidupan masyarakat semakin beraneka ragam dan semakin makmur.
Kemakmuran
masyarakat prasejarah pada masa bercocok tanam terlihat dari
peninggalan-peninggalan budayanya yang beraneka ragam, baik bentuk maupun
jenisnya. Bebarapa diantara peninggalan budaya tersebut berupa kapak persegi,
beliung, cangkul, kapak lonjong, gerabah dan bajak. Alat-alat tersebut sudah
banyak yang terbuat dari logam. Selain alat-alat tersebut, masyarakat
prasejarah pada masa bercocok tanam mulai mengenal tradisi Megalitikum, yaitu
bangunan-bangunan yang dibuat dari batu-batu besar atau batu utuh (Megalith).
Bangunan-bangunan Megalitikum ini dibuat untuk menghormati arwah nenek moyang
Pada
Antroposere stadium Agriculture ini manusia telah mencapai suatu kemampuan adaptif yang hebat, baik dari
segi destruktif maupun dari segi konstrukif terhadap alam dan diri sendiri. Dia
dapat mengadakan manipulasi tanah, genotipe hewan dan tanaman tetapi terikat
pada suatu sistim sosial yang teratur dan tetap yang disebut adat. Selama daya
tampung areal lingkungan hidup operasionalnya luas dan populasinya rendah,
tidak ada masalah yang betul- betul destruktif. Sekalipun pertanian dilakukan
dengan ladang yang berpindah pindah. Hutan yang diratakan dan dibakar untuk
ladang yang dipakai se;lama beberapa kali panen, lambat laun akan pulih kembali
setalah ladang itu ditinggalkan. Lain halnya bila dalam batas-batas
pengetahuan dan teknologi daya tampung
areal lingkungan operasionalnya telah dilampaui akibat usaha meningkatkan
produksi, maka eksploitasi alam terbalik menjadi destruktif karena alam tidak
diberi kesempatan memulihkan diri kembali. Dalam keadaan itu saingan anara unit
unit desa dapat menjelma menjadi hubungan perang. Gejala ini, dari segi ekologi
juga merupakan suatu perilaku adaptasi.
5.
Stadium
V atau Industry
Perubahan
tata hidup agraris ke tata hidup industri, yang juga disebut revolusi industri
pada umumnya dianggap telah dimulai beberapa abad yang lalu di Eropa, khususnya
di Inggris. Sebenarnya proses menuju ke stadium industri merupaka suatu proses
yang berlangsung cukup lama dan pusat-pusatnya tidak di Eropa. Di antara 9000
tahun SM sampai sekitar 500 SM, inovasi teknologi telah ditemukan di Mesir,
Anatolia (Turki), Timur Tengah, Lembah Indus dan Cina. Sedangkan di Eropa
keadaannya masih pada akhir stadium hunting
and gathering atau pada stadium agraris yang dini. Sekalipun demikian,
harus diakui bahwa perkembangan pesat di bidang teknologi industri terjadi di
Eropa, khususnya di Inggris menjelang akhir abad ke 18, dan kemudian merambah
ke Amerika Serikat. Bahan baku industri itu tidak hanya dari bahan pertambangan
seperti logam, tetapi juga berasal dari tanaman. Kemudian muncul suatu
pertanian industri atau perkebunan.
Dampak perkembangan industri terhadap
penyebaran manusia di dunia besar sekali. Sebagai contoh, industri tekstil
sampai akhir abad yang lalu membutuhkan banyak bahan baku kapas. Untuk produksi
kapas ini, antara tahun 1451 dan 1870, telah diangkut sekitar 9,6 juta budak
negro dari Afrika ke Amerika. Perkebunan di koloni-koloni Inggris dan Belanda
telah menyerap sekitar 16,8 juta orang India, beberapa juta orang Cina Selatan
dan beberapa ratus ribu penduduk dari Pulau Jawa. Tenaga kasar yang
ditransmigrasi ini tidak seluruhnya kembali ke tempat asalnya sesudah “kontrak”
nya selesai (Davis, 1974). Dampak pemindahan populasi ini sampai sekarang masih
terasa di berbagai daerah bekas kolonisasi dan bekas daerah produksi bahan baku
industri. Masalahnya bukan hanya masalah sosial sajua, tetapi juga masalah
kebudayaan, sebab dengan transmigrasi penduduk juga terjadi interaksi
kebudayaan.
Efisiensi yang rendah pada pertanian
industrial, menimbulkan reaksi di negara maju seperti Amerika Serikat.
Penggunaan pupuk buatan membuat tanah kehilangan strukturnya yang bisa menahan
air dan erosi. Dengan hilangnya unsur organik dari tanah, menyebabkan erosi
bertambah dan tanah menjadi padat. Untuk mengolah tanah yang padat itu
diperlukan peralatan mekanis yang lebih berat. Dengan bobot yang lebih berat
itu juga membantu membuat tanah lebih padat lagi (Tucker, 1979). Oleh karena
itu usaha pertanian secara tradisional mulai populer kembali di Amerika
Serikat, terutama dari segi penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang
(Carter, 1980).
Industri membawa sejumlah masalah
khusus. Di samping membuat berbagai aspek kehidupan menjadi lebih mudah karena
produksi alat-alat rumah tangga yang praktis dan relatif murah, industri juga
membawa sejumlah hal yang mengganggu. Seperti misalnya polusi partikel, polusi
bahan kimia, polusi suara, bahaya kebakaran, dan bahaya ledakan. Selain itu
juga menimbulkan tekanan jiwa, karena kecepatan kerja ditentukan oleh mesin,
bukan oleh selera manusia lagi. Demi efisiensi penggunaan mesin, jumlah
produksi yang diminimalisasi sudah diperhitungkan dan jumlah produksi maksimal
merupakan sasaran setiap industri yang ingin menjamin kelangsungannya.
Mengingat perkembangan ilmu dan teknologi juga sangat pesat, maka banyak produk
yang cepat sekali menjadi usang, dan banyak yang kurang laku karena saingan
produk yang baru dan lebih menarik. Tekanan lingkungan kerja ini dengan
sendirinya menuntut korban-korbannya. Tingkatan kebudayaan industrial dapat
diukur dari kelainan prilaku golongan sosial, penyakit jiwa dan penyakit
jantung, dan juga jumlah korban kecelakaan baik dalam usaha produksi maupun
akibat dari keracunan polusi.
Kebudayaan industri sangat bergantung
dari sumber energi yang mempunyai keterbatasan. Ketergantungan ini setingkat
dengan perkembangan industri. Oleh karena itu, konsumsi dan ketergantungan
semacam itu berpusat di negara-negara maju. Karena labilnya ekologi manusia
pada tingkatan kebudayaan industri, maka diusahakan sejumlah pendekatan untuk
membuat suatu keadaan yang lebih mantap, atau sekurang-kurangnya memperoleh
tanda bahaya sedini mungkin sehingga proses adaptasi yang paling tepat dapat
direncanakan. Contoh usaha-usaha tersebut adalah politik konservasi sumber
energi, pengembangan penggunaan sumber energi yang lebih awet, pengembangan
sistem evaluasi, dan monitoring polusi.
6. Stadium 6 atau Urbanization
Di antara 10.000 dan 5000 tahun yang
lalu, domestikasi tumbuh-tumbuhan dan hewan serta kemajuan dalam pembuatan alat
kerja telah memungkinkan manusia bermukim tetap dan menghidupkan jumlah
populasi yang besar. Tata hidup sosial juga berubah dari sekumpulan manusia
dengan struktur sosial yang sederhana ke suatu masyarakat dengan wujud
kepemimpinan yang jelas. Norma-norma sosial ditetapkan melalui prasasti yang
tahan zaman. Salah satu prasasti yang tertua adalah prasasti Hammurabi yang
berumur lebih dari 4000 tahun dan ditemukan di Babilon, Irak. Isinya 282
peraturan hukum (Dir. Gen. of Ant. 1957).
Salah satu kota tertua adalah Jerikho
di lembah sungai Jarden, yang 10.000 tahun yang lalu susah berwujud lengkap
dengan tembok perbentengan di sekelilingnya dan menara-menara. Luasnya relatif
kecil, sekitar 4 atau 5 ha dan penduduknya kurang lebih hanya 2000 jiwa
(Harris,1975). 4000 tahun kemudian dalam periode 6350 sampai 5200 tahun yang
lalu, Timur Tengah mengenal kota-kota besar dengan jalan-jalan raya, istana dan
candi-candi seperti Eridu, Al Ubaid dan Uruk.
Dalam periode berikutnya sampai
permulaan perhitungan Masehi, berbagai pusat urban dunia telah berkembang
menjadi kota-keraton, kota-benteng kerajaan-kerajaan tertua atau berbentuk
negara-kota. Kota-kota kuno itu bukan sekadar suatu tempat pemukiman, tetapi
merupakan jantung kegiatan ekonomi dan pemerintahan yang didukung oleh
kekuasaan religi setempat. Sebagai pusat yang relatif kaya terhadap daerah
sekitarnya, kota-kota tersebut mempunyai sistem pertahanan yang ampuh. Kekayaan
dan kemakmuran sebuah kota kuno dapat diukur dari sistem perbentengan, tata
kota yang berpusat pada sejumlah bangunan monumental, terutama istana-istana,
tempat pertemuan umum dan tempat ibadah yang besar. Beberapa contoh pusat urban
kuno antara lain Mesopotamia, Memphis, Mohenjo-Daro dan Harappa.
Beberapa abad menjelang perhitungan
Masehi, pusat-pusat urban bertambah dengan pesat. Ada diantaranya yang sudah
berdiri cukup lama, tetapi pada permulaan itu kota-kota tersebut tidak memegang
peranan penting di luar wilayahnya. Contohnya antara lain Athena, Roma, dan
Kartago.
Beberapa hal mengenai sejarah urban
ini telah dikemukakan untuk memperlihatkan bahwa perkembangan kebudayaan kota
merupakan suatu proses adaptasi yang telah berlangsung cukup lama. Adaptasi
tersebut berlangsung bukan terhadap perubahan lingkungan hidup ekstern sebagai
akibat kebudayaan yang menggunakan lahan pertanian yang luas, tetapi juga
terhadap lingkungan sosial yang melalui kebudayaan agraris telah menuntut
sejumlah perubahan tata hidup yang baru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar