Jumat, 23 Oktober 2015

Ekologi Arsitektur

Ekologi Arsitektur
1.  Pengertian Ekologi
Ekologi yang pertama kali berasal dari seorang biologi Jerman Ernest Haeckel, 1869. Berasal dari bahasa Yunani “Oikos” (rumah tangga) dan “logos” (ilmu), secara harfiah ekologi berarti ilmu tentangg rumah tangga makhluk hidup. Yang merupakan makhluk hidup adalah lingkungan hidupnya.
Menurut Ernest Haeckle ekologi adalah “ilmu yang mempelajari seluk beluk ekonomi alam, suatu kajian hubungan anorganik serta lingkungan organik di sekitarnya”.
Menurut C. Elton (1927) ekologi adalah ilmu yang mengkaji sejarah alam atau perkehidupan alam (natural history) secara ilmiah, Menurut Andrewartha (1961) ekologi adalah ilmu yang membahas penyebaran (distribusi) dan kemelimpahan oraganisme. Sedangkan Eugene P. Odum (1963) menyatakan bahwa ekologi adalah ilmu pengetahuan tentang struktur dan fungsi alam. Charles J.
Krebs (1978) menyatakan ekologi adalah ilmu pengetahuan yang mengkaji interaksi-interaksi yang menentukan penyebaran dan kemelimpahan organisme. Miller dalam Darsono (1995:16) ”Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik antara organisme dan sesamanya serta dengan lingkungan tempat tinggalnya”
Odum dalam Darsono (1995: 16) “Ekologi adalah kajian struktur dan fungsi alam, tentang struktur dan interaksi antara sesame organism dengan lingkungannya dan ekologi adalah kajian tentang rumah tangga bumi termasuk flora, fauna, mikroorganisme dan manusia yang hidup bersama saling tergantung satu sama lain”
Resosoedarmo dkk, (1985:1)“ekologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya”.
Subagja dkk, (2001:1.3). “Ekologi merupakan bagian ilmu dasar”
Dapat disimpulkan bahwa ekologi adalah ilmu dasar yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antar makhluk hidup dengan lingkungannya.

Prinsip-prinsip ekologi tersebut antara lain:
1.      Flutuation  = Prinsip fluktuasi menyatakan bahwa bangunan didisain dan dirasakan sebagai tempat membedakan budaya dan hubungan proses alami. Bangunan seharusnya mencerminkan hubungan proses alami yang terjadi di lokasi dan lebih dari pada itu membiarkan suatu proses dianggap sebagai proses dan bukan sebagai penyajian dari proses, lebihnya lagi akan berhasil dalam menghubungkan orang-orang dengan kenyataan pada lokasi tersebut.
2.      Stratification = Prinsip stratifikasi menyatakan bahwa organisasi bangunan seharusnya muncul keluar dari interaksi perbedaan bagian-bagian dan tingkat-tingkat. Semacam organisasi yang membiarkan kompleksitas untuk diatur secara terpadu.
3.      Interdependence (saling ketergantungan) = Menyatakan bahwa hubungan antara bangunan dengan bagiannya adalah hubungan timbal balik. Peninjau (perancang dan pemakai) seperti halnya lokasi tidak dapat dipisahkan dari bagian bangunan, saling ketergantungan antara bangunan dan bagian-bagiannya berkelanjutan sepanjang umur bangunan.

2.  Pengertian Arsitektur
Definisi Arsitektur Menurut Para Ahli Berdasarkan kamus besar bahasa Indonesia, kata arsitektur (architecture), berarti seni dan ilmu membangun bangunan. Menurut asal kata yang membentuknya, yaitu Archi = kepala, dan techton = tukang, maka architecture adalah karya kepala tukang.
Amos Raport menjelaskan bahwa arsitektur adalah segala macam pembangunan yang secara sengaja dilakukan untuk mengubah lingkungan fisik dan menyesuaikannya dengan skema-skema tata cara tertentu lebih menekankan pada unsur social budaya.
Cornelis Van De Ven menyatakan bahwa arsitektur berarti menciptakan ruang dengan cara yang benar-benar direncanakan dan dipikirkan. Pembaharuan arsitektur yang berlangsung terus menerus sebenarnya berakar dari pembaharuan konsep-konsep ruang.
Benjamin Handler menyatakan bahwa arsitek adalah seniman struktur yang menggunakan struktur secara estetis berdasarkan prinsip-prinsip struktur itu sendiri. Djauhari Sumitardja menyebutkan bahwa arsitektur merupakan sesuatu yang dibangun manusia untuk kepentingan badannya (melindungi diri dari gangguan) dan kepentingan jiwanya (kenyamanan, ketenangan, dll). Vitruvius menyebutkan ada tiga aspek yang harus disintesiskan dalam arsitektur yaitu firmitas (kekuatan atau konstruksi), utilitas (kegunaan atau fungsi) dan venustas (keindahan atau estetika).
Brinckmann mengatakan bahwa arsitektur merupakan kesatuan antara ruang dan bentuk. Arsitektur adalah penciptaan ruang dan bentuk. Buowkundige menjelaskan arsitektur adalah mendirikan bangunan dari segi keindahan (sedangkan mendirikan bangunan dari segi konstruksi disebut ilmu bangunan).

3.  Pengertian Ekologi Arsitektur
Atas dasar pengetahuan dasar-dasar ekologi yang telah diuraikan, maka perhatian pada arsitektur sebagai ilmu teknik dialihkan kepada arsitektur kemanusiaan yang memperhitungkan juga keselarasan dengan alam dan kepentinagn manusia penghuninya. Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan kehidupan manusia dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan alamnya dinamakan arsitektur ekologis atau eko-arsitektur. (Krusche, Per et sl. Oekologisches Bauen. Wiesbaden, Berlin 1982. Hlm.7
Arsitektur ekologis merupakan pembangunan berwawasan lingkungan, dimana memanfaatkan potensi alam semaksimal mungkin. Info lingkungan.
Kualitas arsitektur biasanya sulit diukur, garis batas antara arsitektur yang bermutu dan yang tidak bermutu. Kualitas arsitektur biasanya hanya memperhatikan bentuk bangunan dan konstruksinya, tetapi mengabaikan yang dirasakan sipengguna dan kualitas hidupnya. Apakah pengguna suatu bangunan merasa tertarik.
Pola Perencanaan Eko-Arsitektur selalu memanfaatkan alam sebagai berikut :
§  Dinding, atap sebuah gedung sesuai dengan tugasnya, harus melidungi sinar panas, angin dan hujan.
§  Intensitas energi baik yang terkandung dalam bahan bangunan yang digunakan saat pembangunan harus seminal mungkin.
§  Bangunan sedapat mungkin diarahkan menurut orientasi Timur-Barat dengan bagian Utara-Selatan menerima cahaya alam tanpa kesilauan
§  Dinding suatu bangunan harus dapat memberi perlindungan terhadap panas. Daya serap panas dan tebalnya dinding sesuai dengan kebutuhan iklim/ suhu ruang di dalamnya. Bangunan yang memperhatikan penyegaran udara secara alami bisa menghemat banyak energi.

4.  Unsur pokok arsitektur ekologi
  1. Udara
Udara untuk bernafas . hubungann erat antara udara pernafasan dan kehidupan adalah pengalaman kehidupan manusia. Makin tercemar udara maka kualitas kehidupan semakin menurun,
    1. Air
Air sebagai sumber kehidupan bagi makhluk hidup di muka bumi.
    1. Api
Api (energi), sebagai sumber energy dan sumber salah satu sumber kehidupan bagi makhluk hidup.
    1. Bumi
Bumi menjadi sumber bahan baku dan menjadi tempat kehidupan makhluk hidup.

5.  Dasar-dasar Arsitektur Ekologi
Arsitektur atau eko-arsitektur lebih indah, lebih tepat guna dari pada gedung-gedung biasanya, yang menonjol adalah arsitektur yang berkualitas tinggi. Kualitas biasanya sulit diukur dan ditentukan, terlebih lagi dari bidang arsitektur. Dimana garis batas antara arsitektur yang bermutu tinggi (berkualitas) dan arsitektur yang biasa saja.
Pembahasan kualitas di bidang arsitektur biasanya hanya memperhatikan bentuk gedung dan konstruksinya, tetapi mengabaikan tokoh utamanya yaitu manusia.Dalam eko-arsitektur terdapat dasar-dasar pemikiran yang perlu diketahui, antara lain :
a.       Holistik, Dasar eko-arsitektur yang berhubungan dengan sistem keseluruhan, sebagai satu kesatuan yang lebih penting dari pada sekedar kumpulan bagian.
b.      Memanfaatkan pengalaman manusia Hal ini merupakan tradisi dalam membangun dan merupakan pengalaman lingkungan alam terhadap manusia.
c.       Pembangunan sebagai proses dan bukan sebagai kenyataan tertentu yang statis.
d.      Kerja sama antara manusia dengan alam sekitarnya demi keselamatan kedua belah pihak.
Dengan mengetahui dasar-dasar eko-arsitektur di atas jelas sekali bahwa dalam perencanaan maupun pelaksanaan,  eko-arsitektur tidak dapat disamakan dengan arsitektur masa kini. Perencanaan eko-arsitektur merupakan proses dengan titik permulaan lebih awal. Dan jika kita merancang tanpa ada perhatian terhadap ekologi maka sama halnya dengan bunuh diri mengingat besarnya dampak yang terjadi akibat adanya klimaks secara ekologi itu sendiri. Adapun pola perencanaan eko-arsitektur yang berorientasi pada alam secara holistik adalah sebagai berikut :
a.       Penyesuaian pada lingkungan alam setempat.
b.      Menghemat energi alam yang tidak dapat diperbaharui dan mengirit penggunaan energi.
c.       Memelihara sumber lingkungan (air, tanah, udara).
d.      Memelihara dan memperbaiki peredaran alam dengan penggunaan material yang masih dapat digunakan di masa depan.
e.       Mengurangi ketergantungan pada pusat sistem energi (listrik, air) dan limbah (air limbah, sampah).
f.       Penghuni ikut secara aktif dalam perencanaan pembangunan dan pemeliharaan perumahan.
g.      Kedekatan dan kemudahan akses dari dan ke bangunan.
h.      Kemungkinan penghuni menghasilkan sendiri kebutuhan sehari-harinya.
i.        Menggunakan teknologi sederhana (intermediate technology), teknologi alternatif atau teknologi lunak
6.  Cakupan Ekologi Arsitektur
Sebenarnya, eko-arsitektur tersebut mengandung juga bagian-bagian dari arsitektur biologis (arsitektur kemanusiaan yang memperhatikan kesehatan), arsitektur alternative, arsitektur matahari (dengan memanfaatkan energi surya), arsitektur bionic (teknik sipil dan konstruksi yang memperhatikan kesehatan manusia), serta biologi pembangunan.Eko-arsitektur tidak menentukan apa yang seharusnya terjadi dalam arsitektur karena tidak ada sifat khas yang mengikat sebagai standar atau ukuran baku. Namun, eko-arsitektur mencakup keselarasan antara manusia dan lingkungan alamnya.
a.       Penyelidikan kualitas
Tujuan setiap perencanaan eko-arsitektur yang memperhatikan cipta dan rasa adalah kenyamanan penghuni. Sayangnya, kenyamanan tidak dapat diukur dengan alat sederhana seperti lebar dan panjang ruang dengan meter, melainkan seperti yang telah diuraikan tentang kualitas , penilaian kenyamanan selalu sangat subjektif dan tergantung pada berbagai faktor. Kenyamanan dalam suatu ruang tergantung secara immaterial dari kebudayaan dan kebiasaan manusia masing-masing, dan secara material terutama dari iklim dan kelembapan, bau dan pencemaran udara.
b.      Bentuk dan struktur bangunan 
Bentuk dan struktur bangunan merupakan masalah kualitas dalam perencanaan eko-arsitektur, walaupun terdapat beberapa masalah kualitas yang lain yang berhubungan, terutama kualitas bentuk yang tidak dapat diukur maupun diberi standar.
c.       Pencahayaan dan warna
Pencahayaan dan warna memungkinkan pengalaman ruang melalui mata dalam hubungannya dengan pengalaman perasaan. Pencahayaan (penerangan alami maupun buatan) dan pembayangan mempengaruhi orientasi di dalam ruang.
Bagian ruang yang tersinari dan yang dalam keadaan gelap akan menentukan nilai psikis yang berhubungan dengan ruang (misalnya dengan perabot, lukisan, dan hiasan lainnya). Cahaya matahari memberi kesan vital dalam ruang, terutama jika cahaya tersebut masuk dari jendela yang orientasinya ke timur..
Oleh karena pencahayaan matahari di daerah tropis mengandung gejala sampingan dengan sinar panas, maka di daerah tropis tersebut manusia sering menganggap ruang yang agak gelap sebagai sejuk dan nyaman. Akan tetapi, untuk ruang kerja ketentuan tersebut melawan kebutuhan cahaya untuk mata manusia. Karena pencahayaan buatan dengan lampu dan sebagainya mempengaruhi kesehatan manusia, maka dibutuhkan pencahayaan alam yang terang tanpa kesilauan dan tanpa sinar panas. Untuk memenuhi tuntutan yang berlawanan ini, maka sebaiknya sinar matahari tidak diterima secara langsung, melainkan dicerminkan/dipantulkan sinar tersebut dalam air kolam (kehilangan panasnya) dan lewat langit-langit putih berkilap yang menghindari penyilauan orang yang bekerja di dalam ruang.
Kenyamanan dan kreativitas dapat juga dipengaruhi oleh warna seperti dapat dipelajari pada alam sekitar dengan warna bunga. Oleh karena itu, warna adalah salah satu cara untuk mempengaruhi ciri khas suatu ruang atau gedung. Masing-masing warna memiliki tiga ciri khusus, yaitu sifat warna, sifat cahaya (intensitas cahaya yang direfleksi), dan kejenuhan warna (intensitas sifat warna). Makin jenuh dan kurang bercahayanya suatu warna, akan makin bergairah. Sebaliknya, hawa nafsu dapat diingatkan dengan penambahan cahaya.
Pada praktek pengetahuan, warna juga dapat dimanfaatkan untuk mengubah atau memperbaiki proporsi ruang secara visual demi peningkatan kenyamanan. Misalnya :
( Tomm, Arwed. Oekologisch Planen und Bauen. Braunschweig 1992. Hlm.23 )
·         Langit-langit yang terlalu tinggi dapat ‘diturunkan’ dengan warna yang hangat dan agak gelap
·         Langit-langit yang agak rendah diberiwarna putih atau cerah, yang diikuti oleh 20 cm dari dinding bagian paling atas juga diberi warna putih, yang memberi kesan langit-langit seakan melayang dengan suasana yang sejuk.
·         Warna-warna yang aktif seperti merah atau oranye pada bidang yang luas memberi kesan memperkecil ruang.
·         Ruang yang agak sempit panjang dapat berkesan pendek dengan memberi kesan memperkecil ruang.
·         Ruang yang agak sempit panjang dapat berkesan pendek dengan memberi warna hangat pada dinding bagian muka, sedangkan dapat berkesan panjang dengan menggunakan warna dingin.
·         Dinding samping yang putih memberi kesan luas ruang tersebut.
·         Dinding tidak seharusnya dari lantai sampai langit-langit diberi warna yang sama. Jikalau dinding bergaris horizontal ruang berkesan terlindung, sedangkan yang bergaris vertical berkesan lebih tinggi.

1.1.7.  Sejarah Ekologi Arsitektur
a.     Perkembangan Komunitas Manusia Menurut Para Ahli
o    Menurut Dansereau
Dansereau mengelompokkan perkembangan komunitas manusia menjadi 6 tingkatan atau stadium, yaitu:
1. Stadium I  : Gathering
2. Stadium II : Hunting and fishing
3. Stadium III           : Herding
4. Stadium IV           : Agriculture
5. Stadium V             : Industry
6. Stadium VI           : Urbanization


o   Miller Jr.
Miller Jr. mengelompokkan perkembangan komunitas manusia menjadi 5 tingkatan, yaitu:
1.    Masyarakat pemburu (pengumpul primitif)
2.    Masyarakat pertanian
3.    Masyarakat industri
4.    Masyarakat warga bumi

o   Laura C. Zeiher
Laura C. Zeiher membagi perkembangan komunitas manusia menjadi 4 kelompok, yaitu:
1.    Hunting and Gathering
2.    Civilization
3.    Agricultural Civilization
4.    Industrial Civilization

b.   Penjelasan Perkembangan Komunitas Manusia
Berikut penjelasan dari masing-masing stadium atau tingkatan perkembangan komunitas manusia.
1.    Stadium I atau Gathering

Gathering merupakan kegiatan penghidupan yang terdiri dari usaha mengumpulkan bahan makanan dari alam, seperti umbi, daun-daun, buah-buahan, telur, kerang, dan lain-lain. Lingkungan prilaku masyarakat pada stadium I tersebut relatif terbatas. Kegiatan penghidupan sehari-hari dibatasi oleh daya gerak fisik tanpa peralatan transportasi, keterbatasan dalam teknik menyimpan dan mengawetkan makanan, jumlah tenaga kerja yang kecil (jumlah anggota masyarakat terbatas), ketergantungan pada sumber air yang ada, dan keterbatasan pengetahuan mengenai cara-cara menguasai dan mengadakan manipulasi unsur-unsur lingkungan hidup yang penting untuk kelangsungan hidup sendiri dan keturunannya. Jadi kelangsungan hidup masyarakat pada stadium I sangat bergantung pada lingkungan, karena mereka hanya bisa mengambil bahan makanan langsung dari alam tanpa bisa menghasilkannya kembali.
Mayarakat stadium I merupakan kelompok-kelompok sekitar 20-50 individu, maka dampak konsumtif kelompok yang relatif kecil itu, dengan teknologinya yang sederhana, praktis tidak berarti dalam kondisi ekologi yang normal. Alam dengan mudah dapat mengisi kembali apa yang sudah diambil melalui berbagai proses regenerasinya. Kehidupan masyarakatnya juga masih nomaden atau berpindah-pindah. Jika bahan makanan di suatu tempat telah habis, maka mereka berpindah menuju tempat lain yang masih menyediakan bahan makanan. Karena hidupnya masih nomaden, maka tempat tinggal mereka pun berpindah-pindah. Tempat tinggal masyarakat pada Stadium I ini masih terbilang sangat sederhana, karena mereka hanya dapat memanfaatkan apa yang disediakan oleh alam, seperti goa atau tinggal di bawah pepohonan.




2.    Stadium II : Hunting and Fishing

Pada stadium II atau Hunting and Fishing adalah kegiatan berburu dan menangkap ikan. Lingkungan perilaku masyarakatnya juga masih relatif terbatas seperti masa Stadium II, alat-alat berburu dan menangkap ikan masih sederhana seperti kapak perimbas. Kebudayaan masyarakat pada stadium II, pada umumnya terdapat kode etik untuk membunuh hewan secara berlebihan, yaitu dalam jumlah yang melebihi kebutuhan. Pola ini merupakan suatu faktor yang sangat berarti dan berhubungan dengan pelestarian sumber-sumber material dan energi yang dibutuhkan masyarakat itu.
Alat yang digunakan untuk berburu yakni terbuat dari batu, tulang, tanduk, dan kayu. Peralatan pada masa itu antara lain kapak genggam, tombak, panah dan alat-alat serpih. Bentuknya masih kasar dan tidak diasah.
Kehidupan masyarakat pada stadium II juga masih nomaden. Mereka hidup mengembara dari hutan satu ke hutan yang lain. Daerah yang cocok untuk menghindari hujan, terik matahari yang panas, dan hawa dingin biasanya tidak terlalu jauh dari sungai, danau, atau sumber air yang lain. Ada juga yang berlindung di gua-gua sebagai tempat tinggal sementara. Gua-gua yang dipilih biasanya terletak di lereng-lereng bukit yang terjal. Untuk mencapainya, mereka menggunakan tangga yang dapat ditarik ke dalam gua jika ada bahaya yang mengancam.
Masyarakat Food Gathering dan Hunting and Fishing terbatas pada sejumlah suku asing tertentu seperti suku-suku asli Australia seperti Aborigin, Bushmen di Afrika Selatan, suku-suku di Kepulauan Andaman, kaum Shoshoni di Benua Amerika, kaum eskimo, dan suku Pigmi.
Sebagai contoh, suku Indian membuat Poeblo Bonito di Chaco Canyon, New Mexico pada abad 10 dan 11. Kondisi topografinya menyediakan suatu habitat bagi manusia dengan pertahan dan perlindungan dari cuaca dingin dan panas. Suatu kawasan atau wilayah dihuni oleh 1200. Mereka membuat ruang bawah tanah untuk upacara yang disebut Kivas yang terbuat dari batu dan teras bata. Dinding bagian dalam dari Canyon berorientasi pada musim panas dan musim dingin. Untuk mempertahankan temperatur di sepanjang tahun, siang dan malam. Suku Indian di Amerika Utara membuat suatu tenda sebagai tempat tinggal mereka yang terbuat dari kulit binatang yang dapat memberikan perlindungan dan menampung sejumlah pengembara.
Hunting and gatering mempunyai efek atau pengaruh terhadap lingkungan dan menimbulkan kerusakan. Jumlah binatang punah di daerah Eurasia masih dalam skala kecil, tapi di tempat lain perusakan terjadi secara besar-besaran. Di Ausralia, 86% binatang punah pada 100.000 tahun yang lalu. Penduduk asli atau Aborigin sudah melakukan pemburuan yang menyebabkan kepunahan pada 40.000 tahun yang lalu. Pemunahan terhadap sumber makanan dan habitat alami manusia itu berpengaruh terhadap kematian.  Hal ini sebanding dengan angka kepunahan di Amerika Selatan yang mencapai 80% dan di Amerika Utara yang mencapai 73%.
Meskipun demikian, kehidupan berburu sangat stabil untuk ratusan ribu tahun. Kemudian sekitar sepuluh ribu tahun yang lalu, metode yang digunakan manusia untuk memperoleh makanan dan menciptakan tempat perlindungan mulai berubah. Pengembangan dari penanaman agrikultur membuat suatu perubahan yang radikal dalam sejarah manusia.

3.    Stadium III atau Herding
Herding merupakan kegiatan mengembala atau kebudayaan nomadik. Ciri-ciri kebudayaan mengembala meliputi kegiatan penghidupan yang terdiri dari memelihara dan membiakkan hewan-hewan tertentu, menghasilkan produk-produk dari hewan itu (kulit, bulu, produk susu, dan lain-lain), dan membarter produk-produk itu dengan bahan makanan nabati.  Dalam usaha memelihara dan membiakan hewan itu, masyarakat perlu mengembala ternaknya dari satu tempat ke tempat lain untuk memperoleh padang rumput yang cukup dan segar. Siklus berpindah-pindah itu dengan sendirinya terpengaruh musim, baik dari segi persediaan makanan ternak maupun dari persediaan bahan makanan nabati yang diperlukan oleh masyarakat gembala itu sendiri.
Secara ekologi kebudayaan mengembala bertahan karena mengisi suatu kekosongan. Dengan hidup berpindah-pindah, wilayah penunjang kehidupan ternak sangat luas sehingga hal ini memungkinkan pembiakan ternak dalam jumlah yang besar,  sesuatu yang tidak mungkin dilaksanakan oleh petani yang bermukim tetap. Sejarah penjinakan atau domestikasi berbagi hewan peliharaan yang dimulai dari bentuk-bentuk yang liar adalah sebagai berikut untuk :
Domba : 9000 tahun SM di Shanidar, Irak.
Kambing : 7500 tahun SM di Ali Kosh, Iran.
Babi : 7000 tahun SM di Cayonu, Turki.
Unta : 3000 tahun SM di Rusia Selatan.
Kuda : 3000 tahun SM di Ukraine, Rusia.
Keledai : 3000 tahun SM di lembah sungai Nil, Mesir.
Penjinakan anjing (nenek moyang serigala), meskipun jasanya banyak dignakan di kalangan masyarakat gembala, tetapi tidak dimulai di daerah bioma padang rumput. Bekas-bekas anjing peliharaan anjing tertua ditemukan di Idaho, Amerika dan Inggris, umurnya 8400-7500 tahun SM. Jasa anjing itu semula digunakan dalam kebudayaan berburu (stadium II). Domestikasi berbagai jenis hewan pada hakekatnya merupakan suatu penyederhanan proses berburu.
Di samping kegiatan mengembala, masyarakat nomadik masih mempunyai dua usaha penghidupan. Yang pertama adalah mengumpulkan makanan dan berburu seperti stadiun I dan II. Usaha yang merupakan warisan dari kebudayaan yang lebih kuno, merupakan suatu usaha sambilan yang dapat mengurangi ketergantungan masyarakat nomadik itu dari masyarakat agraris. Usaha yang kedua adalah berperang atau menyerbu sasaran secara efisien. Pada suku Mongol dan Arab, kebudayaan berperang telah berkembang sedemikian rupa sehingga mereka berhasil berkuasa di suatu wilayah yang luas dan makmur karena bersifat agraris.
Dalam sejarah penyerbuan suku-suku nomadik ini terjadi secara besar-besaran sejak 4000 tahun yang lalu, dan berlangsung secara bergelombang. Dari segi sosial-budaya, sejarah penyerbuan suku nomadik itu juga meningkatkan difusi kebudayaan antar daerah, suatu gejala yang juga menguntungkan dari segi ekologi.
Di Asia Tenggara termasuk wilayah Indonesia, kebudayaan tidak berkembang karena keadaan alamnya yang berupa hutan tropis yang lebat dan hijau, adaptasi terhadap alam tersebut merupakan kebudayaan Stadium I dan II yang berangsur-angsur mengalih ke kebudayaan Stadium IV yaitu Agraris. Namun dengan catatan bahwa pertanian yang dilaksanakan adalah pertanian yang berpindah-pindah. Sebagian hutan diratakan untuk dijadikan ladang, dan kemudian ditinggalkan karena hasil panen yang menurun dan penanaman menjadi sulit akibat pertumbuhan hutan yang pulih kembali. Pertumbuhan nomadik agraris bukan saja meliputi suku-suku terasing yang tersebar di Indonesia, tetapi juga dapat ditemukan di daerah-daerah yang sudah mantap perkembangan agrarisnya seperti di Pulau Jawa.

4.    Stadium IV atau Agriculture
Agriculture merupakan kebudayaan agraris. Setelah melewati masa berburu dan mengumpulkan makanan manusia mulai mengenal masa bercocok tanam pada akhir zaman mesolitikum. Cara bercocok tanam pertama kali dilakukan dengan berhuma, yaitu dengan cara menebangi hutan, kemudian ditanami jenis padi-padian, ubi kayu, dan ubi jalar. Dengan dikenalnya sistem berhuma ini, mereka terpaksa hidup lebih lama ditempat itu. Pada masa inilah mulai berkembangnya perkampungan-perkampungan dan selanjutnya terbentuklah kesatuan-kesatuan suku, dan marga yang masing-masing dipimpin oleh kepala sukunya yang dipilih berdasarkan prinsip primus interpares.
Kehidupan masyarakat yang makin teratur menuntut kerja sama dan gotong royong dari para anggotanya. Pembagian kerja makin rinci sehingga terbentuklah warga masyarakat dengan keahliannya masing-masing, seperti ada yang membuat alat-alat pertanian, mengolah tanah pertanian, menjual hasil pertanian, membuat alat-alat rumah tangga, dan lain-lain. Disamping mengenal cara-cara berhuma dan bersawah, manusia pada masa itu memiliki kepandaian mengawetkan makanan. Misalnya dengan cara memberi garam atau ramuan tertentu pada daging atau ikan agar dapat bertahan lebih lama. Kegiatan perekonomian semakin kompleks. Pertanian, perdagangan, pertukangan, dan pelayaran semakin maju. Hal itu memungkinkan pola kehidupan masyarakat semakin beraneka ragam dan semakin makmur.
Kemakmuran masyarakat prasejarah pada masa bercocok tanam terlihat dari peninggalan-peninggalan budayanya yang beraneka ragam, baik bentuk maupun jenisnya. Bebarapa diantara peninggalan budaya tersebut berupa kapak persegi, beliung, cangkul, kapak lonjong, gerabah dan bajak. Alat-alat tersebut sudah banyak yang terbuat dari logam. Selain alat-alat tersebut, masyarakat prasejarah pada masa bercocok tanam mulai mengenal tradisi Megalitikum, yaitu bangunan-bangunan yang dibuat dari batu-batu besar atau batu utuh (Megalith). Bangunan-bangunan Megalitikum ini dibuat untuk menghormati arwah nenek moyang
Pada Antroposere stadium Agriculture ini manusia telah mencapai suatu kemampuan adaptif yang hebat, baik dari segi destruktif maupun dari segi konstrukif terhadap alam dan diri sendiri. Dia dapat mengadakan manipulasi tanah, genotipe hewan dan tanaman tetapi terikat pada suatu sistim sosial yang teratur dan tetap yang disebut adat. Selama daya tampung areal lingkungan hidup operasionalnya luas dan populasinya rendah, tidak ada masalah yang betul- betul destruktif. Sekalipun pertanian dilakukan dengan ladang yang berpindah pindah. Hutan yang diratakan dan dibakar untuk ladang yang dipakai se;lama beberapa kali panen, lambat laun akan pulih kembali setalah ladang itu ditinggalkan. Lain halnya bila dalam batas-batas pengetahuan  dan teknologi daya tampung areal lingkungan operasionalnya telah dilampaui akibat usaha meningkatkan produksi, maka eksploitasi alam terbalik menjadi destruktif karena alam tidak diberi kesempatan memulihkan diri kembali. Dalam keadaan itu saingan anara unit unit desa dapat menjelma menjadi hubungan perang. Gejala ini, dari segi ekologi juga merupakan suatu perilaku adaptasi.


5.    Stadium V atau Industry
Perubahan tata hidup agraris ke tata hidup industri, yang juga disebut revolusi industri pada umumnya dianggap telah dimulai beberapa abad yang lalu di Eropa, khususnya di Inggris. Sebenarnya proses menuju ke stadium industri merupaka suatu proses yang berlangsung cukup lama dan pusat-pusatnya tidak di Eropa. Di antara 9000 tahun SM sampai sekitar 500 SM, inovasi teknologi telah ditemukan di Mesir, Anatolia (Turki), Timur Tengah, Lembah Indus dan Cina. Sedangkan di Eropa keadaannya masih pada akhir stadium hunting and gathering atau pada stadium agraris yang dini. Sekalipun demikian, harus diakui bahwa perkembangan pesat di bidang teknologi industri terjadi di Eropa, khususnya di Inggris menjelang akhir abad ke 18, dan kemudian merambah ke Amerika Serikat. Bahan baku industri itu tidak hanya dari bahan pertambangan seperti logam, tetapi juga berasal dari tanaman. Kemudian muncul suatu pertanian industri atau perkebunan.
Dampak perkembangan industri terhadap penyebaran manusia di dunia besar sekali. Sebagai contoh, industri tekstil sampai akhir abad yang lalu membutuhkan banyak bahan baku kapas. Untuk produksi kapas ini, antara tahun 1451 dan 1870, telah diangkut sekitar 9,6 juta budak negro dari Afrika ke Amerika. Perkebunan di koloni-koloni Inggris dan Belanda telah menyerap sekitar 16,8 juta orang India, beberapa juta orang Cina Selatan dan beberapa ratus ribu penduduk dari Pulau Jawa. Tenaga kasar yang ditransmigrasi ini tidak seluruhnya kembali ke tempat asalnya sesudah “kontrak” nya selesai (Davis, 1974). Dampak pemindahan populasi ini sampai sekarang masih terasa di berbagai daerah bekas kolonisasi dan bekas daerah produksi bahan baku industri. Masalahnya bukan hanya masalah sosial sajua, tetapi juga masalah kebudayaan, sebab dengan transmigrasi penduduk juga terjadi interaksi kebudayaan.
Efisiensi yang rendah pada pertanian industrial, menimbulkan reaksi di negara maju seperti Amerika Serikat. Penggunaan pupuk buatan membuat tanah kehilangan strukturnya yang bisa menahan air dan erosi. Dengan hilangnya unsur organik dari tanah, menyebabkan erosi bertambah dan tanah menjadi padat. Untuk mengolah tanah yang padat itu diperlukan peralatan mekanis yang lebih berat. Dengan bobot yang lebih berat itu juga membantu membuat tanah lebih padat lagi (Tucker, 1979). Oleh karena itu usaha pertanian secara tradisional mulai populer kembali di Amerika Serikat, terutama dari segi penggunaan pupuk organik atau pupuk kandang (Carter, 1980).
Industri membawa sejumlah masalah khusus. Di samping membuat berbagai aspek kehidupan menjadi lebih mudah karena produksi alat-alat rumah tangga yang praktis dan relatif murah, industri juga membawa sejumlah hal yang mengganggu. Seperti misalnya polusi partikel, polusi bahan kimia, polusi suara, bahaya kebakaran, dan bahaya ledakan. Selain itu juga menimbulkan tekanan jiwa, karena kecepatan kerja ditentukan oleh mesin, bukan oleh selera manusia lagi. Demi efisiensi penggunaan mesin, jumlah produksi yang diminimalisasi sudah diperhitungkan dan jumlah produksi maksimal merupakan sasaran setiap industri yang ingin menjamin kelangsungannya. Mengingat perkembangan ilmu dan teknologi juga sangat pesat, maka banyak produk yang cepat sekali menjadi usang, dan banyak yang kurang laku karena saingan produk yang baru dan lebih menarik. Tekanan lingkungan kerja ini dengan sendirinya menuntut korban-korbannya. Tingkatan kebudayaan industrial dapat diukur dari kelainan prilaku golongan sosial, penyakit jiwa dan penyakit jantung, dan juga jumlah korban kecelakaan baik dalam usaha produksi maupun akibat dari keracunan polusi.
Kebudayaan industri sangat bergantung dari sumber energi yang mempunyai keterbatasan. Ketergantungan ini setingkat dengan perkembangan industri. Oleh karena itu, konsumsi dan ketergantungan semacam itu berpusat di negara-negara maju. Karena labilnya ekologi manusia pada tingkatan kebudayaan industri, maka diusahakan sejumlah pendekatan untuk membuat suatu keadaan yang lebih mantap, atau sekurang-kurangnya memperoleh tanda bahaya sedini mungkin sehingga proses adaptasi yang paling tepat dapat direncanakan. Contoh usaha-usaha tersebut adalah politik konservasi sumber energi, pengembangan penggunaan sumber energi yang lebih awet, pengembangan sistem evaluasi, dan monitoring polusi.

6. Stadium 6 atau Urbanization
Di antara 10.000 dan 5000 tahun yang lalu, domestikasi tumbuh-tumbuhan dan hewan serta kemajuan dalam pembuatan alat kerja telah memungkinkan manusia bermukim tetap dan menghidupkan jumlah populasi yang besar. Tata hidup sosial juga berubah dari sekumpulan manusia dengan struktur sosial yang sederhana ke suatu masyarakat dengan wujud kepemimpinan yang jelas. Norma-norma sosial ditetapkan melalui prasasti yang tahan zaman. Salah satu prasasti yang tertua adalah prasasti Hammurabi yang berumur lebih dari 4000 tahun dan ditemukan di Babilon, Irak. Isinya 282 peraturan hukum (Dir. Gen. of Ant. 1957).
Salah satu kota tertua adalah Jerikho di lembah sungai Jarden, yang 10.000 tahun yang lalu susah berwujud lengkap dengan tembok perbentengan di sekelilingnya dan menara-menara. Luasnya relatif kecil, sekitar 4 atau 5 ha dan penduduknya kurang lebih hanya 2000 jiwa (Harris,1975). 4000 tahun kemudian dalam periode 6350 sampai 5200 tahun yang lalu, Timur Tengah mengenal kota-kota besar dengan jalan-jalan raya, istana dan candi-candi seperti Eridu, Al Ubaid dan Uruk.
Dalam periode berikutnya sampai permulaan perhitungan Masehi, berbagai pusat urban dunia telah berkembang menjadi kota-keraton, kota-benteng kerajaan-kerajaan tertua atau berbentuk negara-kota. Kota-kota kuno itu bukan sekadar suatu tempat pemukiman, tetapi merupakan jantung kegiatan ekonomi dan pemerintahan yang didukung oleh kekuasaan religi setempat. Sebagai pusat yang relatif kaya terhadap daerah sekitarnya, kota-kota tersebut mempunyai sistem pertahanan yang ampuh. Kekayaan dan kemakmuran sebuah kota kuno dapat diukur dari sistem perbentengan, tata kota yang berpusat pada sejumlah bangunan monumental, terutama istana-istana, tempat pertemuan umum dan tempat ibadah yang besar. Beberapa contoh pusat urban kuno antara lain Mesopotamia, Memphis, Mohenjo-Daro dan Harappa.
Beberapa abad menjelang perhitungan Masehi, pusat-pusat urban bertambah dengan pesat. Ada diantaranya yang sudah berdiri cukup lama, tetapi pada permulaan itu kota-kota tersebut tidak memegang peranan penting di luar wilayahnya. Contohnya antara lain Athena, Roma, dan Kartago.

Beberapa hal mengenai sejarah urban ini telah dikemukakan untuk memperlihatkan bahwa perkembangan kebudayaan kota merupakan suatu proses adaptasi yang telah berlangsung cukup lama. Adaptasi tersebut berlangsung bukan terhadap perubahan lingkungan hidup ekstern sebagai akibat kebudayaan yang menggunakan lahan pertanian yang luas, tetapi juga terhadap lingkungan sosial yang melalui kebudayaan agraris telah menuntut sejumlah perubahan tata hidup yang baru.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar