Jumat, 23 Oktober 2015

KEMPINSKI RESIDENCES

1 Pengantar dan Filosofi
1
11. Pengantar
Menurut kompenski konsep merupakan kunci kesuksesan sebuah proyek, kempensky mengembangkan desain properti yang atraktif termasuk pelaksanaan dan eksekusi akhir memberikan bantuan teknis, nasihat hukum, pemasaran dan dukungan penjualan.
Konsep yang baik mencakup semua aspek kehidupan meliputi keluarga dan teman, kesehatan dan kebugaran , olahraga dan rekreasi, keamanan dan pengelolaan yang menghasilkan sebuah kenyamanan, pelayanan dan fasilitas dari  hunian mewah bintang lima, dengan keamanan dan karakter masyarakat sebagai pengguna.
Kempenski sangat detil dalam memberi kenyamanan hidup yang luar biasa, karena kempensky berusaha untuk memberi sesuatu yang unik dan memberi keseragaman
Tujuan panduan ini membantu dalam desain dan perencanaan dari properti Kempinski Hotel, setiap proyek studi merupakan studi arsitektur baru karena itu layout yang khas belum dapat ditetapkan. Site, lokasi, lingkungan, ketersediaan budget dan proyek konsep merupakan perhitungan dasarnya, selain itu unsur- unsur arsitektur local dan tradisional dapat digunakan untuk memberikan atmosfir yang unik yang dicari oleh tamu, Sebuah desain harus dapat dirasakan oleh tamu jauh dari kesan berada dirumah dengan sentuhan unik, penuh kegembiraan, bukan tempat transit semata.
Tujuan utama membangun property baru dengan keunggulan dan keapikan, yang menghormati budaya local apabila memungkinkan, menambahkan nilai inovasi, meningkatkan daya saing, menggunakan material dan instalasi yang terbaru tetapi tidak mengikuti trand fashion yang cepat berganti.
Terdapat dua jenis utama proyek property:
MIXED USE  : Ketika sebuah proyek bangunan mewadahi lebih dari satu fungsi misalnya hotel dan residen dikembangkan dalam satu proyek, tetapi hotel sebagai prioritas. Kempinski Residences tidak akan terlibat dalam pengembangan Mixed Use kecuali Kempinski Hotel ditunjuk untuk mengelola hotel  sebagai terlibat pada bagian yang kompleks.
STAND ALONE        :dalam rangka memperoleh brand kampinski untuk unit  residensial saja tanpa hotel, mitra kerjasama untuk pengembangan harus diseleksi sangat selektif sesuai kriteria yang ditetapkan untuk mempertahankan eksklusifitas Kempinski dan tamu dari Residen tersebut.

2. IDENTITAS PERUSAHAAN
Kempinski telah berdiri sejak 1897 dan telah menciptakan dunia yang mewah, menawarkan eksklusivitas dan layanan sempurna untuk para tamu di hotel. Dalam beberapa tahun terakhir, terdapat tren konsumen baru untuk mencari tempat tinggal yang sepenuhnya dilayani, dan disesuaikan disetiap kebutuhan mereka, hal tersebut adalah evolusi dari bisnis yang diterapkan oleh Manajemen Kempinski dengan keahlian dan pengalamannya, sehingga Kempinski dapat menawarkan keahlian ini untuk pengembang, pemilik dan tamu di seluruh dunia.
Kempinski Residences sepenuhnya memasuki pasar perhotelan sejak tahun 1990-an. Pada tahun 2006, Kempinski Residences S.A. didirikan. 60% proyek baru kempinski belokasi di daerah kota dan 80 % resort baru merupakan proyek Mixed Use, termasuk hotel dan real estat.. Kempinski Residences dengan cepat menjadi salah satu perusahaan terkemuka untuk rumah mewah di seluruh dunia.
Kempinski mengambil spesialisasi fokus pada membuat dan mengelola tempat tinggal, dengan memiliki kepercayaan brand dunia. Dua produk ditawarkan yaitu: Kempinski Private Residences, tempat tinggal pribadi yang eksklusif , villa, penthouse dan townhouse untuk sewa sementara atau jangka panjang. Setiap property yang mengusung nama Kempinski akan diwariskan pelayanan yang mewah dan superior, Dalam rangka untuk memberikan klien pengalaman properti, Kempinski Residences mengelola semua kebutuhan klien dan mengurus semua rincian, untuk penjualan atau penyewaan residen.

3. Pertimbangan Desain
3.1 Klien
Klien untuk rekreasi dan bisnis internasional, Kempinski telah identik dengan gaya kebangsawanan, dan efisiensi, dengan pelayanan dan fasilitas bintang lima.
Kempinski Residences menawarkan klien kesempatan untuk membeli atau menyewa apartemen mewah, villa, resort, townhouse dan penthouse di beberapa kota lokasi yang paling diinginkan di seluruh dunia.
Klien Kempinski menikmati keppemilikan dari awal, mereka mendapatkan keuntungan dari standar tertinggi dalam hal lokasi, kualitas konstruksi, bahan, desain interior dan lansekap. Proses pembelian sangat praktis, berkat tim spesialis yang mengurus semua detail, mengatur layanan keuangan setelah terjual dan, serta pengelolaan harian property.
Semua hal dikelola dan dilayani oleh manajemen kempenski, sehingga hanya menanam investasi klien dapat merasakan ketenangan dan hasil yang maksimal, serta memastikan klien menikmati pengalaman gaya hidup Kempinski, yang istimewa dan santai, riang namun mewah, membebaskan dan meyakinkan.

3.2 Gaya Desain
Properti Kempinski terletak di berbagai belahan dunia dan sebagai pelopor pendirian poperti modern dan pemggunaan nilai sejarah pada setiap tempat. Kempinski telah memiliki 3000 perumahan yang dijual atau disewakan semuanya terintegrasi dengan anggun kedalam lingkungan, Kempinski menawarkan townhouse mewah, apartemen, penthouse dan vila dan semua operasinya baik di bawah pembangunan di 11 negara di Eropa, Asia dan Timur Tengah

3.3 Pemeliharaan
Setelah melakukan investasi sebagai OWNAS (Owner Association), untuk pengelolaan biaya maintenance oleh owner, serta pemilihan jadwal maintenance harus dipertimbangkan untuk memilih bahan dan finishing. Akses servis harus didesain agar dengan mudah mencapai tempat maintenance utilitas bangunan, serta panel untuk mengunci ruang untuk keamanan dan mematuhi standar keamanan daerah setempat.

4. Persyaratan Umum Desain
4.1 Persyaratan Kontekstual
Dalam merencanakan bangunan property dan fasilitas luar bangunan (kolam renang, rekreasi, dan area umum) terdapat perawatan khusus untuk setiap bagiannya.
·         Orientasi
Mengoptimalkan sinar matahari dan pencahayaan alami, serta pemandangan (terutama dari tempat tinggal dan melalui ruang Lobby).
·         Paparan Angin
Batas- batas aliran angin dan efek angin yang tidak diinginkan (panas atau dingin, debu, bau dan asap).
·         Akses Utama dan Lalulintas
Sirkulasi lalu lintas masuk dan keluar harus lancer, Akses utama harus dapat diidentifikasi dengan jelas, dan permasalahan kebisingan harus di minimalisir

4.2 Persyaratan Ganda
Persyaratan fasilitas disabilitas harus mematuhi semua kode lokal atau kode Uni Eropa masing-masing (mana yang lebih ketat). Umumnya, persyaratan berikut harus dipenuhi:
  • Akses umum ke properti harus bebas dari hambatan. Sebuah pintu putar atau putar tidak harus menjadi satu-satunya pintu masuk properti. Akses harus landai, kemiringan tidak boleh melebihi 6%. Atau, lift ditambahkan platform.
  • Pintu untuk semua wilayah yang dapat diakses untuk penyandang disabilitas harus memiliki lebar minimal 90cm.
  • Toilet cacat harus ada dalam area lobby

4.3 Pencapaian dan Entrance
Pencapaian
Harus unsure arsitektur yang jelas pada bangunan. Pusat kota atau situs, fasad akan menjadi elemen pertama mengidentifikasi properti. (Terutama di tingkat lantai dasar dan untuk sejumlah lantai ke atas, tergantung pada perspektif diperbolehkan oleh situs). Untuk visiabilitas bangunan fasad harus dipelajari bersama dengan signage dan pencahayaan eksterior.
Entrance
Pintu masuk bangunan utama harus menjadi unsur yang kuat. Hal ini dapat dicapai dengan menggunakan tenda, teras, kanopi (sminimal 2 mobil), atau unsur arsitektur lainnya. Lobby itu adalah kontak pertama pengunjung dengan bangunan dan karena itu harus mencerminkan gaya dan kualitas yang baik. Elemen ini juga dimaksudkan untuk melindungi pemilik dan pengunjung dari cuaca. Hal ini dapat digunakan sebagai penerangan di malam hari.

4.4 Parkir
Dalam hal beberapa kasus, zona parkir memiliki peraturan khusus pemerintah tentang luas minimum penyediaan parkir
Area parkir di luar harus teduh, indah dan dengan Pos pemeriksaan dengan portal dan petugas umumnya diperlukan. Jika Proyek direncanakan parkir bawah tanah, pemilik rumah harus bisa mencapai lantai rumah langsung oleh elevator dikendalikan oleh kartu kunci dan sistem CCTV jika ada titik pemeriksaan keamanan individu direncanakan.
Para tamu di kediaman seharusnya tidak diperbolehkan untuk pergi langsung dari area parkir ke tempat tinggal lantai. Sebuah koneksi melalui daerah Lobby diperlukan. Desain aliran parkir harus mencerminkan efisiensi, mudah, dan akses keluar dan memiliki signage yang tepat. Untuk properti yang lebih besar dan kompleks, yang lalu lintas-konsultan / parkir harus disewa.


Parkir Owner
Ø  Site Kota                     Jumlah Luasan= ( Luas Residen) x 1
Ø  Site Resort                  Jumlah Luasan= ( Luas Residen) x 1
Parkir Staff
Ø  Parkir harus diletakkan disebelah pintu masuk ruang staff
Ø  Site Kota                     Jumlah Luasan=( Jumlah Luasan Residen) x 0.10
Ø  Site Resort                  Jumlah Luasan=(Jumlah Luasan Residen) x 0.40
Parkir Taxi
Ø  Parkir ini diletakkan di depan bangunan/ property
Ø  Jumlah ruang 2
Luas Parkir untuk kendaraan roda dua (untuk staff)
Ø  Jumlah Ruang             Luasan perumahan x 0,03
Parkir Area
Ø  Area berikut merupakan jumlah jatah luas kotor untuk menentukan luas diperlukan untuk parkir (termasuk akses, keluar dan sirkulasi)
Ø  Mobil Eropa                :26m2 per ruang
Ø  Mobil Amerika            :35m2 per ruang

4.5 Eksterior Dan Interior Lansekap
·         Eksterior Lansekap
Dewasa ini sering kita ketahui terdapat kasus- kasus di mana tidak ada tanah tersisa di sekitar bangunan, ini merupakan hal yang sangat penting untuk properti mengenai Lansekap. Sebuah studi tertentu oleh seorang arsitek lanskap selalu diperlukan, untuk mengetahui bagaimana desain yang baik dan apa saja yang harus dikerjakan dalam rancangannya.
Penggunaan lahan harus dioptimalkan untuk klien untuk sarana olahraga dan rekreasi. Sebuah sistem penyiraman otomatis, penataan tata lampu pada lansekap harus memungkinkan pada malam hari yang digunakan untuk menekankan kualitas estetika. Ruang luar harus dipelajari secara khusus dalam hubungannya dengan penanaman interior.

·         Interior Lansekap
Harus mencerminkan tema dan suasana properti serta harus direncanakan untuk mengambil keuntungan penuh dari ruang dan cahaya. Sebuah sistem penyiraman otomatis harus disediakan dan kemudahan pemeliharaan harus diperhatikan.

4.6 Kolam Renang

            Kolam renang dan deck kolam memiliki ukuran bervariasi sesuai dengan konsep Proyek. Kedalaman kolam renag harus disesuaikan dengan peraturan dan standar yang telah ditentukan. Bentuk kolam geometris atau bebas, akan ditentukan oleh lingkungan dan konteks arsitektur. Fasilitas yang disediakan di dekat kolam renang yaitu, pusat distribusi handuk, mandi, ruang ganti dan toilet, ruang penyimpanan dan ruang teknis akan diatur dekat dengan area kolam. Outlet makanan & minuman, taman bermain anak- anak, furnitur dan peralatan penyimpanan yang dibutuhkan sesuai dengan konsep rancangan.

4.7 Pencahayaan
Dalam perancangan arsitektur ada dua tipe pencahayaan, pertama adalah pencahayaan alami dengan sumber sinar matahari dan kedua adalah pencahayaan buatan dengan sumber lampu penerangan. Pencahayaan alami lebih optimal dibutuhkan pada siang hari, terutama pada bagian luar bangunan. Sedangkan pencahayaan buatan lebih optimal dibutuhkan pada malam hari serta di bagian dalam ruang yang tidak/ kurang terbias sinar matahari.
Dalam penggunaan lampu penerangan untuk pencahayaan buatan, pada umumnya ada dua sistem. Pertama adalah pencahayaan umum (direct lighting) dan pencahayaan setempat (spot lighting). Pemilihan jenis pencahayaan ini disesuaikan dengan guna aktifitas yang terjadi pada bangunan. Sebuah desain dapat sepenuhnya menggunakan pencahayaan umum, dapat pula sepenenuhnya menggunakan pencahayaan setempat dan dapat juga memadukan dua jenis pencahayaan tersebut. Kolaborasi dan elaborasi yang estetis dalam mengunakan dua tipe cahaya ini sangat dibutuhkan untuk mendramatisasi nuansa ruang. Pencahayaan lampu terbaik adalah jika sumber cahaya tidak langsung mengenai pengunjung hingga menyebabkan silau. Yang dibutuhkan dalam penerangan adalah efek dari cahaya ketika menerangi ruang.
Pencahayaan merupakan faktor yang sangat penting dari setiap properti. Ada pencahayaan eksterior dan interior. Eksterior pencahayaan meliputi:
1.      lampu fasade
2.      Pencahayaan dari jalan masuk dan jalan
3.      Pencahayaan Pilihan di kebun dan daerah-taman lainnya
4.      Pencahayaan terutama berkaitan dengan tempat umum seperti Lobby, Pusat Bisnis dan semua bidang lainnya.

4.8 Tanda
Tanda/ sebuah isyarat internal masing- masing properti akan sesuai karakter desain umum, sebuah tanda harus sesuai identitas perusahaan. Tanda yang berfungsi tidak hanya sebagai sistem penuntun bagi klien properti dan tamu, tetapi juga fitur keselamatan dan keamanan yang sangat penting. Oleh karena itu perlu untuk mempekerjakan sebuah perusahaan desain grafis untuk mengembangkan sistem tanda dalam hubungan dengan desainer interior, arsitek memimpin dan / atau arsitek lansekap.
Contoh Tanda/ Isyarat
1.      Tempat umum (misalnya nomor pintu, tanda- tanda direktori, nama ruang serbaguna, toilet, pintu keluar, dll)
2.      Back of House (misalnya Kantor, lokakarya, dll)
3.      Semua keselamatan & keamanan terkait tanda/ isyarat
4.      Tanda eksterior yang mengarah ke fasilitas rekreasi, tanda keselamatan dan sebagainya

2 .1.4 Kotak simpanan (Safe Deposit Box atau SDB)
Kotak simpanan adalah suatu wadah atau kotak penyimpanan harta atau surat berharga, yang biasanya ditempatkan pada suatu ruang khazanah yang dirancang secara khusus dari bahan baja yang kokoh, tahan bongkar dan tahan api untuk menjaga keamanan barang yang disimpan dan kenyamanan penggunanya. Kotak simpanan atau SDB ini biasanya berada di bank, kantor pos, atau institusi lainnya. Banyak hotel, resor dan kapal pesiar menawarkan penyewaan kotak simpanan atau lemari besi kecil untuk pelanggan mereka.
1.      Daerah surat harus elegan untuk standar yang sama sebagai tempat umum lainnya.
2.      Akses dikendalikan untuk perusahaan pengiriman surat.

2 .1.5 Sekuriti/ Penjaga Pintu
Sekuriti merupakan orang yang bertugas memberi keamanan, kebebasan dari bahaya, atau kekhawatiran. Sekelompok atau individu berdiri bebas atau tersembunyi, untuk penanganan pemilik, pengunjung dan tamu bagasi atau belanja dan parkir.
1.      Terletak di pintu masuk utama, luar atau di dalam (tergantung pada konfigurasi bangunan).
2.      Memungkinkan staf untuk mengawasi semua kegiatan di bidang kedatangan dan pintu masuk.

2 .1.6 Ruang Penyimpanan
Sebuah ruang yang aman atau daerah untuk penyimpanan sementara dari pemilik, pengunjung dan pengiriman tamu, bagasi atau barang- barang lainnya yang perlu direncanakan.
1.      Akses langsung dari jalan masuk dan penerimaan properti, dan ke lift layanan.
2.      Pertimbangkan ruang penyimpanan untuk troli, dll
3.      Memungkinkan rak (50cm dalam) sepanjang dinding dan perangkat penyimpanan menggantung.
4.      Untuk properti dengan lapangan golf di dekatnya, ruang ekstra untuk tas golf, dan pembersihan klub harus dipertimbangkan.
5.      Mungkin dilengkapi dengan mesin x-ray untuk tujuan keamanan, tergantung pada kondisi lokal dan persyaratan.

2 .1.7 Area Komersial
Sebuah area/ ruang untuk mewadahi proses perdagangan barang ekonomis seperti layanan, informasi, uang, dll. Area yang diciptakan setidaknya seperti pasar mini (serba serbi dan toko) untuk rumah tinggal kebutuhan dan barang sehari-hari, perlu direncanakan.
1.      Lebih dari satu area toko mungkin diperlukan (misalnya butik, golf pro-toko dll) tergantung pada ukuran dan jenis properti, melihat konsep Project.
2.      Harus elegan selesai untuk standar yang sama sebagai tempat umum lainnya. Tempat yang disediakan harus mencerminkan suasana yang berlaku dan suasana properti.

2 .1.8 Toilet Umum
Toilet Umum adalah fasilitas sanitasi yang mengakomodasi kebutuhan tempat buang air besar dan kecil, tempat cuci tangan dan muka yang digunakan oleh masyarakat umum, tanpa membedakan usia maupun jenis kelamin dari pengguna tersebut.
Area toilet harus berlokasi untuk mudah diakses dari lobby dan sesuai dengan kode yang sesuai dengan peraturan, termasuk ketentuan untuk orang cacat. Perhatian khusus harus dibayar untuk penampilan finishing dan keseluruhan fasilitas ini untuk mencerminkan standar yang sama sebagai tempat umum lainnya.
1.      Pintu masuk ke laki- laki, perempuan, dan fasilitas cacat (jika ada) harus berbeda dan terpisah.
2.      1m minimum lebar tanpa pintu.

2.2 Jasa Pengiriman
Umumnya layanan seperti, makanan & minuman dan pemeliharaan yang disediakan oleh Hotel. Penginapan  kompleks perlu adanya hubungan antara Hotel dengan pemberi jasa pengiriman agar mudah untuk menyediakan layanan tersebut.
Restoran dan bar yang terbaik terletak di lantai dasar dengan akses internal dan eksternal dan layanan dapur. Di sebagian besar lokasi, yang terbaik adalah untuk merancang bar dan restoran dengan akses dan lokasi dengan cara yang akan memberi mereka penampilan unit independen/ berdiri sendiri.
1.      Tema spesifik restoran, jenis bar, dan lokasi ditentukan oleh konsep proyek dan permintaan.
2.      Pencahayaan alami adalah suatu keharusan dalam kebanyakan kasus.
3.      Bar akan mencakup pantry layanan
4.      Kebisingan transmisi ke tempat tinggal harus dihindari.
5.      Kebisingan dan bau dari dapur harus diisolasi. Umumnya merencanakan dua pintu ganda antara dapur dan restoran (satu untuk IN dan satu untuk masing-masing OUT) untuk mengontrol lalu lintas dan mengurangi kebisingan dapur di restoran.

6.      Semua fasilitas F & B dan bidang terkait harus mematuhi standar HACCP dan setiap kode lokal yang berlaku (jika ada).

Sindrom Columbus Melanda Arsitek

Latar Belakang
Dalam tulisan-tulisannya, tampak hasrat dan kepeduliannya pada arsitektur Indonesia. Di sisi lain, wawasannya yang luas, yang tidak terbatas pada arsitektur melulu, membuat narasi tulisannya menari lincah. Dia Eko Budiharjo (1944-2014).
Eko menempuh studi sarjananya di jurusan Arsitektur Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, dan melanjutkan studi masternya di bidang Perencanaan  Kota di University of Wales Institute of Science and Technology, Inggris. Ia mengajar di Universitas Diponegoro, Semarang, dan pernah menjabat sebagai Rektor selama tahun 1998-2006.
Ia menaruh perhatian pada publikasi arsitektur. Selain banyak menulis buku arsitektur, ia juga banyak menyunting buku kumpulan tulisan hasil pemikiran para arsitek Indonesia. “Begitu banyak karya arsitektur yang muncul di persada bumi Indonesia, tetapi begitu sedikit yang menularkan konsep-konsep pemikiran dan proses terjadinya karya tersebut,” tulisnya ketika mengantarkan salah satu bukunya.
Sindrom Columbus Melanda Arsitek adalah tulisannya untuk Kongres Nasional III Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), Jakarta 14-16 Maret 1985. Tulisan tersebut juga dimuat di harian Kompas, 16 Maret 1985. Dalam tulisan itu, ia menyebutkan bahwa perancangan arsitektur saat itu seperti terjangkit Sindrom Columbus. Christopher Columbus, kita tahu, adalah orang yang ambisius, namun tidak betul-betul tahu ia di mana—sampai ajalnya, ia masih mengira Benua Amerika adalah Asia. Eko berkata, “Banyak arsitek yang bergulat dan main cinta dengan dirinya sendiri.”
Di tulisan ini juga, tampak pandangannya bahwa arsitektur bukan hanya urusan programatis ataupun kenikmatan visual, melainkan juga perkara persentuhan dengan jiwa. Ia juga menempatkan arsitektur secara proporsional, tidak semata-mata sebagai ilmu yang eksklusif hanya untuk kaum borjuis, melainkan juga untuk rakyat kecil. Di akhir tulisan, ia menyampaikan betapa pentingnya mengembangkan apresiasi dan kritik arsitektur, secara terbuka, untuk menghindari kemandekan wacana, juga sebagai jawaban atas sindrom yang ia sebutkan.















Sindrom Columbus Melanda Arsitek
Eko Budiharjo
2.1. Sindrome Colombus
Dewasa ini perancangan arsitektur merupakan contoh (jelek) yang paling baik dari Sindrom Columbus: penuh ledakan ambisi untuk setiap kali menemukan Amerika, atau, menciptakan kembali roda bulat bundar. Begitu siratan tuduhan Prof. Amos Rapoport dalam tulisannya tentang pendidikan arsitektur.
Kabar buruk yang slentang-slenting sampai ke rongga telinga dari Eropa, hampir senada juga. Dikisahkan, banyak bangunan baru, modern, dan purna-modern, yang tidak bisa ditangkap atau dibaca pesannya oleh mayoritas masyarakat awam.
Masyarakat lantas menjadi begitu muak dan mualnya dengan kehadiran arsitektur baru, sampai-sampai benak kepala mereka dijejali dengan purbasangka: apapun yang dibangun sekarang pastilah lebih jelek daripada apa yang sudah berdiri sebelumnya.
Old is Best” menjadi epithet yang merupakan tongkat wasiat buat mereka.
Yang sangat menarik, tapi sekaligus juga mencekam, adalah bahwa ucapan-ucapan tersebut tidak berhenti sekadar sebagai slogan hampa, tetapi mengejawantah dalam tindakan nyata. Masyarakat Prancis misalnya, beramai-ramai melancarkan protes keras tatkala Presiden François Mitterrand, yang ingin ikut memberikan cap pribadi dalam perkembangan arsitektur Prancis, menandatangani persetujuan atas rencana dibangunnya piramida kaca ultra modern karya I. M. Pei sebagai gerbang baru masuk Louvre, dan gedung Opera dari besi kaca di Place de la Bastile.
Gelombang protes ini didukung oleh Le Figaro, media massa yang sangat berpengaruh.
Di Inggris, usulan pembangunan gedung kantor 25 lantai dari kaca dan tembaga yang dirancang oleh arsitek beken Mies Van der Rohe, juga sampai dua kali ditolak oleh pihak yang berwajib (Grester London Council), dengan alasan kehadiran pencakar awan itu akan mengakibatkan tergusurnya 9 bangunan kuno yang terdaftar sebagai bangunan bersejarah.
Pada suatu saat memang pernah disepakati bahwa perancangan arsitektur yang “baik” selalu mengandung konotasi “modern”: bentuk yang sucihama bersih, polos, apa adanya, yang muncul dari pewadahan yang lugas terhadap fungsi.
Persetan dengan kesinambungan historis, kehausan manusia akan seni ornamental, atau keserasian dengan lingkungan sekitarnya.
Dekrit arsitek adalah bahwa bentuk-bentuk fungsional dan modern itulah cerminan masa kini yang absah. Padahal pada kenyataannya bentuk-bentuk tersebut sering terasing dari masyarakat pemakai dan penikmatnya, terasa abstrak dan angkuh, karena hanya memandang sebelah mata pada manusia, martabatnya, sejarah dan masa depannya.
Sebetulnya memang sudah sejak lama disinyalir antara lain oleh Dante Alighieri, bahwa apa yang disebut “modern” sering berarti sesuatu yang tidak cukup berharga untuk dibiarkan menjadi tua.
Karena itu, dalam setiap kongres arsitektur, kapan dan di mana saja, topik kontroversial yang klasik semacam ini selalu muncul kembali. Keberagaman ekspresi lokal diakui dan bahkan dituntut keberadaannya dari setiap karya arsitektur. Itu adalah pusparagam kisah-kisah dari mancanegara yang saya pikir cukup gayut juga dengan masalah arsitektur di negara kita tercinta.



2.2. Budaya Massa
Dalam arti sebenarnya, Budaya Massa adalah dianggap sebagai milik mayoritas masyarakat tak berbudaya dan tak berpendidikan. Dalam sosiologi, istilah “massa” mengandung pengertian kelompok manusia yang tak bisa dipilah-pilah, bahkan semacam kerumunan (crowd) yang bersifat sementara dan dapat dikatakan: segera mati. Dalam kelompok manusia yang seperti ini, identitas seseorang biasanya tenggelam. Masing-masing akan mudah sekali meniru tingkah laku orang-orang lain yang “sekerumunan.” Puncak dari tingkah laku mereka akan dilalui, katakanlah maksudnya selesai, apabila secara fisik mereka sudah lelah dan tujuan bersamanya tercapai. Banyak pengertian budaya massa dari berbagai ahli diantaranya : Menurut Bennet dan
Tumin,Kebudayaan Massa adalah “seperangkat ide bersama dan pola perilaku yang memintas garis sosio-ekonomi dan pengelompokan sub-kultural dalam suatu masyarakat yang kompleks. Sementara menurut aliran Frankfurt, budaya populer adalah budaya massa yang dihasilkan industri budaya untuk stabilitas maupun kesinambungan kapitalisme.
Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan industri produksi massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan pada khalayak konsumen. Budaya massa adalah hasil budaya yang dibuat secara massif demi kepentingan pasar. Budaya massa lebih bersifat massal, terstandarisasi dalam sistem pasar yang anonim, praktis, heterogen, lebih mengabdi pada kepentingan pemuasan selera “dangkal”. Zaman dulu secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa budaya massa adalah simbol kedaulatan kultural dari orang-orang yang tidak terdidik.
Dari asal katanya Budaya massa merupakan istilah untuk mass culture,istilah inggris yang berasal dari bahasa Jerman yaitu Masse dan kultur. Di Eropa budaya massa ditujukan kepada mayoritas masyarakat Eropa kelas menengah kebawah yang tak terpelajar,seperti kelas pekerja dan kaum miskin yang disebut mass atau masse. Karena itu istilah budaya massa di Eropa diidentikkan dengan ejekan atau merendahkan terhadap apa yang menjadi pilihan-pilihan kaum kelas menengah ke bawah ini. Pilihan-pilihan itu seperti pilihan produk,ide,perasaan,pikiran dan sikap masyarakat Eropa yang tidak terpelajar.
Sementara istilah lain yang berlawanan dengan istilah masse kultur adalah istilah high cultureyang berarti kebudayaan tinggi atau kebudayaan elit. Disebut kebudayaan elit karena istilah ini digunakan untuk menyebut atau mengacu kepada kaum terpelajar dan kelas menengah ke atas di Eropa. Terkait dengan berbagai pilihan produk kesenian dan segala sesuatu yang berkaitan dengan pikiran dan perasaan mereka yang menjatuhkan kepada pilihan atas jenis produk simbolik yang bernilai tinggi.
Jika dibandingkan,pemakaian kedua istilah diatas untuk menyebutkan perbedaan selera berupa pilihan-pilihan produk antara kedua kelas sosial diatas. Yaitu antara kaum tidak terpelajar yang sebagian besar adalah kelas menengah ke bawah dan kaum terpelajar yang masuk dalam golongan kelas atas. Jelas bahwa pemakaian istilah masse kultur (budaya massa) mengandung ejekan atau sikap merendahkan terhadap apa yang menjadi pilihan produk,ide dan pemikiran mayoritas kelas menengah bawah.
Ciri-ciri Budaya massa (Burhan Bungin,2009: 77-78):
1.      Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya populer. acara-acara infotainment,seperti indonesian idol, Penghuni terakhir, dan sebagainya adalah salah satu contoh karakter budaya massa ini.
2.      Budaya massa juga bersifat merakyat, tersebar di basis massa sehingga tidak merucut di tingkat elite, namu apabila ada elite yang terlibat dalam proses ini makaitu bagian dari basis assa itu sendiri.
3.      Budaya massa juga memproduklsi budaya massa seperti infotainment adalah produk pemberitaan yang diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat memanfaatkannya sebagai hiburan umum.
4.      Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa. Bahkan secara tegas dikatakan bahwa bukan popular kalau budaya massa artiya budaya tradisional daqpat menjadi budaya popular apabila menjadi budaya massa. Contohnya srimulat, ludruk, maupun campursari. Pada mulanya kesenian tradisional ini berkembang di masyarakat tradisioanal dengan karakter-karakter tradisional, namun ketika kesenian ini dikemas di media massamaka sntuhan popular mendominasi seluruh kesenian tradisional itubaik kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat pedesaan namun secara massalmenjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di pedesaan dan perkotaan.
5.      Budaya massa, terutama yang diproduksi oleh media massa diproduksi dengan menggunakan biaya yang cukup besar, karena itu dana yang besar harus menghasilkan keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri, karena itu budaya massa diproduksi secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kegiatan budaya massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi capital yang diinvestasikan pada kegiatan tersebut.
6.      Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbo-simbol kelas sehingga terkesan diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup. Syarat utama dari eksklusifitas budqaya massa ini adalah keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam perubahan budaya secara massal.
b. Pengertian Budaya Populer
Williams (1983) mendefinisikan kata ”populer”menjadi empat penegrtian yaitu (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri. Sedangkan pengertian budaya popular dijabarkan dalam berbagai definisi. Budaya pop oleh Antonio Gramsci (1971) dikaitkan dengan konsep hegemoninya, mengacu pada cara kelompok dominan dalam suatu masyarakat mendapatkan dukungan dari kelompok subordinasi melalui proses kepemimpinan,
intelektual, dan moral. Budaya pop adalah ”budaya massa”, budaya yang diproduksi massa untuk konsumsi massa. Untuk itulah, ada relevansi antara popular culture dengan commercial culture (kebudayaan komersil). Budaya yang dibutuhkan sifatnya massal (common people), tentu diproduksi berlandaskan keinginan pasar(komersil). Kebudayaan pop hanya akan terjadi manakala keinginan pasar menjadi perhatian sentral.
Mendefinisikan “budaya” dan “populer”, yang pada dasarnya adalah konsep yang masih diperdebatkan, sangat rumit. Definisi itu bersaing dengan berbagai definisi budaya populer itu sendiri. John Storey, dalam Cultural Theory and Popular Culture, membahas enam definisi. Definisi kuantitatif, suatu budaya yang dibandingkan dengan budaya “luhur” (Misalnya: festival-festival kesenian daerah) jauh lebih disukai. “Budaya pop” juga didefinisikan sebagai sesuatu yang “diabaikan” saat kita telah memutuskan yang disebut “budaya luhur”. Namun, banyak karya yang melompati atau melanggar batas-batas ini misalnya Shakespeare, Dickens, Puccini-Verdi-Pavarotti-Nessun Dorma. Storey menekankan pada kekuatan dan relasi yang menopang perbedaan-perbedaan tersebut seperti misalnya sistem pendidikan.
Definisi ketiga menyamakan budaya pop dengan Budaya Massa. Hal ini terlihat sebagai budaya komersial, diproduksi massal untuk konsumsi massa. Dari perspektif Eropa Barat, budaya pop dapat dianggap sebagai budaya Amerika. Atau, “budaya pop” dapat didefinisikan sebagai budaya “autentik” masyarakat. Namun, definisi ini bermasalah karena banyak cara untuk mendefinisikan “masyarakat”. Storey berpendapat bahwa ada dimensi politik pada budaya populer; teori neo-Gramscian “… melihat budaya pop sebagai tempat perjuangan antara ‘resistansi’ dari kelompok subordinat dalam masyarakat dan kekuatan ‘persatuan’ yang beroperasi dalam kepentingan kelompok-kelompok dominan dalam masyarakat.” Suatu pendekatan postmodernism pada budaya populer “tidak lagi mengenali perbedaan antara budaya luhur dan budaya populer.”
Storey menekankan bahwa budaya populer muncul dari urbanisasi akibat revolusi industri, yang mengindentifikasi istilah umum dengan definisi “budaya massa”. Penelitian terhadap Shakespeare (oleh Weimann atau Barber Bristol, misalnya) menemukan banyak vitalitas karakteristik pada drama-drama Shakespeare dalam partisipasinya terhadap budaya populer Renaissance. Sedangkan, praktisi kontemporer, misalnya Dario Fo dan John McGrath, menggunakan budaya populer dalam rasa Gramscian yang meliputi tradisi masyarakat kebanyakan (Ludruk misalnya).
Budaya Pop selalu berubah dan muncul secara unik di berbagai tempat dan waktu. Budaya pop membentuk arus dan pusaran, dan mewakili suatu perspektif interdependent-mutual yang kompleks dan nilai-nilai yang memengaruhi masyarakat dan lembaga-lembaganya dengan berbagai cara. Misalnya, beberapa arus budaya pop mungkin muncul dari (atau menyeleweng menjadi) suatu subkultur, yang melambangkan perspektif yang kemiripannya dengan budaya pop mainstream begitu sedikit. Berbagai hal yang berhubungan dengan budaya pop sangat khas menarik spektrum yang lebih luas dalam masyarakat.
* * *
Ciri-ciri budaya populer:
a.       Tren, sebuah budaya yang menjadi trend dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi menjadi budaya populer;
b.      Keseragaman bentuk, sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti oleh banyak penjiplak. Karya tersebut dapat menjadi pionir bagi karya-karya lain yang berciri sama, sebagai contoh genre musik pop (diambil dari kata popular) adalah genre musik yang notasi nada tidak terlalu kompleks, lirik lagunyasederhana dan mudah diingat;
c.       Adaptabilitas, sebuah budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren;
d.      Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan-seperti merek Coca-cola yang sudah ada berpuluh-puluh tahun;
e.       Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya. (http://www.slideshare.net/andreyuda/media-dan-budaya-populer)
Menurut Ben Agger pemikiran tentang budaya popular dapat dikelompokan menjadi yaitu:
1.      Budaya dibangun berdasarkan kesenangan namun tidak substansial dan mengentaskan orang dari kejenuhan kerja sepanjang hari.
2.      Kebudayaan popular menhancurkan kebudayaan tradisional.
3.      Kebudayaan menjadi masalah besar dalam pandangan ekonomi kapitalis Marx.
4.      Kebudayaan popular merupakan budaya yang menetes dari atas (Burhan Bungin, 2009: 100).
Kebudayaan popular berkaitan dengan masalah keseharian yang dapat dinikmati oleh semua orang atau kalangan orang tertentu seperti mega bintang, kendaraan pribadi, fashion, model rumah, perawatan tubuh, dan sebagainya. Menurut Ben Agger Sebuah budaya yang akan masuk dunia hiburan maka budaya itu umumnya menempatkan unsure popular sebagai unsure utamanya. Budaya itu akan memperoleh kekuatannya manakala media massa digunakan sebagai penyebaran pengaruh di masyarakat (dalam Burhan Bungin,2009:100).

Karena arsitektur merupakan suatu bentuk budaya massa, konsekuensinya ia harus bisa menjalin komunikasi dengan masyarakat pemakainya, wajib memiliki mass appeal, dan seyogyanyalah merasuki wilayah kehidupan sehari-hari.
Kalau bak sampah dirancang agak terlalu bagus sehingga dimanfaatkan sebagai tempat tinggal atau MCK digunakan sebagai gudang beras karena sayang bila “hanya” untuk buang kotoran (tidak usah kecil hati, karena di Italia pun flush toilet didayagunakan sebagai tempat pencuci buah anggur), berarti komunikasi timbal-balik tidak berlangsung dengan sewajarnya.
Mies Van der Rohe merancang kursinya yang terkenal itu sedemikian rupa sehingga terasa berat dan sulit digeser karena konon menurut etika Jerman, menggeser kursi agar lebih dekat pada yang punya rumah dinilai sebagai tindakan yang kasar alias tidak berbudaya.
Akan tetapi, biarpun dari segi kekuatan, fungsi dan kenyamanan serta keindahan (“Firmitas, Utilitas, dan Venustas”, menurut versi Vitruvius) kursi Mies memenuhi segenap persyaratan, namun karya itu toh tidak bisa diterapkandi sembarang tempat dan waktu dengan begitu saja.
Kekhasan dan keunikan pemakai harus menjadi batu pijakan utama untuk melangkah dalam proses perancangan. Kalau masyarakat Occidental menyukai hal-hal yang serba formal, definitif, tugas (pakaian saja dipilah-pilah menjadi pakaian santai, sport, pijama, evening dress, pakaian kantor, dan lain-lain), masyarakat kita yang tergolong oriental lebih mendambakan keluwesan dan kekenyalan alias fleksibilitas (sarung bisa dipakai untuk bertandang ke tetangga, sembahyang di masjid, main silat, ronda malam, ke kamar mandi atau tidur; dan yang disebut batik bisa digunakan untuk kain, baju, taplak, tirai, pembalut kursi, gambar pajangan, menggendong bayi, atau penutup keranda).
Jadi tidak usah heran kalau kita jumpai rumah yang sekaligus jadi bengkel, warung, salon, praktik dokter atau dukun dan bahkan bordil gelap. Atau ruang tunggu suatu kantor yang diisi meja pingpong atau bilyard. Yang kita sebut pencak silat itu, adalah juga seni tari, olahraga, dan musik campur jadi satu. Nah, tanpa adanya rasa tanggap dan pencerapan tuntas atas hal-hal spesifik semacam itu, akibatnya adalah seperti yang menimpa kebanyakan perumahan yang dibangun melalui KPR-BTN: langsung dirombak begitu ditempati oleh pemakainya. Sebab rumah-rumah tersebut dirancang secara massal dalam bentuk paket mati artifisial yang terima jadi, sehingga kurang memberikan peluang bagi pemakai/penghuni/pemilik untuk memancangkan cap pribadi atau menampilkan jati diri masing-masing.
Secara jujur harus pula diakui bahwa banyak karya arsitektur yang betul secara programatis dan prima dari kacamata utilitarian, tetapi kurang menyentuh jiwa sehingga tidak menghasilkan kenikmatan, kalau toh ada paling hanya kenikmatan visual yang sesaat saja.
Padahal justru sentuhan pada getaran jiwa inilah yang secara esensial membedakan karya arsitek dengan karya builders dan engineers. Begitu kurang lebih gumam R. M. Beckley. Dan dalam hal ini upaya dan gebrakanArsindo dirasakan masih kurang. Kalau mau dibuat ibarat dari kenyataan sehari-hari, suara muazin yang sensitif, melodious, penuh perasaan, menggetarkan jiwa dan menegakkan bulu roma itulah yang semestinya lebih dibudidayakan daripada teriakan yang keluar dari pengeras suara di masjid yang terlalu lantang melantunkan adzan bersumber dari pita rekaman.
Arsitektur  perkotaan  dewasa  ini  mempunyai  bentuk  tampilan  fisik yang sangat beraneka ragam. Bentuk tampilan fisik itu menjadikan ciri budaya yang menarik bagi sebagian masyarakat, dan berkembangnya memunculkan spekulasi dari perjalanan arsitektur yang sulit untuk dikontrol lagi. Hal itu dilanjutkan dengan perkembangan arsitektur di seantero pelosok dunia yang sangat pesat pengaruhnya dan ini sebagai bagian dari era yang kita sebut dengan globalisasi. Tentu saja dari perkembangan tersebut akan memberikan pengaruh besar terhadap pendidikan arsitektur di Indonesia. Baik mazab, doktrin, style, maupun desain bangunannya. Arsitektur demikian berbicara dengan bahasa pop terkadang diproduksi massal dengan standar-standar tertentu. Dalam perkembangan dan perjalanannya karya-karya arsitektur semacam itu kadang-kadang terlihat tidak menghargai gaya masa lalu, yang muncul tanpa melihat kontekstual lingkungan tempat bangunan lain berada. Pada dasarnya seni ber’arsitektur’ itu tidaklah eksklusif dan sempit tentunya, tetapi selalu membaur dalam kehidupan fisiknya serta ingin sekali menghargai keanekaragaman dan pluralisme. Pada kenyataan perjalanan arsitek selalu mencari bentuk sederhana, dan dapat dijadikan sebuah karya yang bermakna tunggal. Meskipun banyak juga yang dalam prosesnya memunculkan elemen-elemen masa kini yang pada kenyataannya merupakan  elemen  “repetisi”  (pengulangan).  Karya  asitektur  dibangun dalam lingkungan urban yang sangan kontekstual sekali, namun teknik membangunnya  tidak  disertai  pemahaman  mengenai  nuansa  artistik. Bukan  sebuah  kisah  arsitek  dengan  karya-karya  yang  melambangkan suatu dunia yang imajiner. Akan tetapi, aspek urban inilah yang memperlihatkan gaya, bentuk, dan corak yang saling bertentangan. Charles Moore dalam Conversation with Architects, mengatakan sebuah bangunan mempunyai kekuatan untuk menjadi apa yang diinginkannya, mengatakan apa yang ingin dikatakannya sehingga telinga kita mulai mendengar apa yang ingin disampaikan oleh bangunan tersebut (Grenz 2001:42). Kenyataannya kaum modernis menemukan identitas dirinya dengan membuang segala sesuatu yang lain dari dirinya; dengan cara ini, para arsitek modern mengatakan bahwa hasil karya arsitektur mereka bersifat murni (orisinal). Apakah arsitektur itu berkembang dan menjadi arus yang sangat dominan? Pada awalnya, mereka mempunyai keyakinan untuk menciptakan suatu tempat dan bangunan yang dapat memberikan kenyamanan  pada  manusia.  Kenyataannya  industrialisasi  arsitekturlah yang menyingkirkan keanekaragaman tradisi dan lokalitas yang ada. Ekspansi ini berlanjut dengan menghancurkan bangunan kuno dan juga bangunan  tradisional.  Meskipun  berdasarkan  prinsip  yang  konon  oleh Frank Llyod Wright dinyatakan dengan prinsip kesatuan (unity), dikatakan bahwa  bangunan  modern  harus  merupakan  sebuah  kesatuan  organis.


Bangunan harus merupakan “kesatuan yang agung” (one great thing) dan bukan kumpulan bahan yang tidak agung” (little things) dalam kata lain bangunan harus mengekspresikan makna tunggal (Grenz 2001:39).
Arsitektur berkembang menjadi arus yang dominan sebagai cetusan
jiwa modern untuk selalu “maju” dalam menghadapi tatanan global. Tidak Nampak kedalaman atau keluasan, melanggar batas sejarah demi untuk memberikan kesan masa kini. Melanggar orisinalitas dan tidak ada gaya sama sekali. Walter Gropius dalam Programme of the staatloches Bauhaus in Weimar”, mengatakan mari bersama-sama kita bayangkan, pikirkan, dan ciptakan   sebuah   struktur   masa   depan   baru   yang   meliputi   bidang arsitektur, seni pahat, seni lukis sebagai sebuah kesatuan. Suatu hari, semua ini akan menjulang sampai ke langit melalui tangan berjuta-juta seniman.  Ini  menjadi  keyakinan  baru  seperti  sebuah  kristal  (Grenz
2001:40).  Karena  itu  memikirkan  struktur  masa  depan  baru  dengan
menyingkirkan demensi modern dan postmodern dan hanya berfokus pada fungsi akan mengalami perjalanan yang tidak mudah. Bahwa demensi artistik mempunyai peran besar untuk menyampaikan suatu kisah. Ditekankan oleh Eco (2004:375), di dalam kasus-kasus tertentu, bahkan terjadi pembunuhan arsitektur. Hanyalah style-nyalah yang diberi kesempatan hidup. Dalam kondisi ketidakpastian sekarang ini sangatlah sulit untuk member pandangan definitif mengenai peran perancang di masa mendatang atau bahkan di masa kini. Cross (1975) meminta kita untuk mempertimbangkan apakah kita sekarang memasuki masyarakat pasca- industri dan karenanya memerlukan proses desain pasca-industri (Lawson
2007:29). Arsitektur haruslah memberikan kepastian dengan bahasa barunya, yaitu kesatuan dan keseragaman (uniformity), meskipun pada kenyataannya juga terdapat bangunan-bangunan yang sangat tidak manusiawi.  Dengan  berbagai  produksi  massalnya, kekuasaan arsitektur semakin menjadi, sehingga mereka kehilangkan nilai-nilai sejarah bahkan juga kreatifitas dan imajinatifnya.



Dinamika Modern dan Postmodern
Banyak sejarawan menyebut era modern sebagai “era industrialisasi”,
karena era ini di dominasi oleh produksi barang-barang. Karena fokusnya pada produksi material-material, modernism menghasilkan masyarakat industri.  Simbolnya  dalah  pabrik.  Sebaliknya,  era  postmodern mengarahkan fokus kepada informasi. Kita sedang menyaksikan transisi dari masyarakat industry ke masyarakat informasi. Simbolnya adalah computer   (Grenz   2001:33).   Apakah   benar   bahwa   ciri   dari   budaya postmodern adalah pluralism. Untuk itulah para arsitek yang berjiwa seni mulai   mencampurkan   berbagai   komponen   yang   saling   bertentangan menjadi sebuah karya seni. Perubahan ini hanya sekedar mencemoohkan apa yang dilakukan di dalam era modernism dengan tradisi industrialisnya. Sebuah ekletisme baru yang ditata sedemikian rupa seolah mengubah tata cara dan tradisi yang berkembang pada era modernism. Komerialisasi ini memberikan perubahan besar dalam peradaban ber’arsitektur’, mereka saling melakukan tawaran yang saling bertentangan baik secara teknologi mupun  material  bahannya.  Tanggung-jawab  dari  akibat  perubahan  itu


menjadikan arsitektur perkotaan sebagai tempat mereka melakukan eksperimen menawarkan cara-cara baru yang terkadang ironis. Charle Jencks dalam What is Post-Modernisme?’ mengatakan, postmodern adalah campuran antara macam-macam tradisi dan masa lalu. Postmodern adalah kelanjutan dari modernism, sekaligus melampaui modernism. Ciri khas karya-karyanya adalah makna ganda, ironi, banyaknya pilihan, konflik, dan terpercaya berbagai tradisi, karena heteregenitas sangat memadai bagi pluralism (Granz 2001:37). Kemasa kinian membuat arsitektur terjerembah ke dalam fenomena baru dalam menjelaskan stylenya, pemiskinan komponen dan elemen arsitektur menjadi perhatian besar dalam karya- karya yang nampak diseantero belahan dunia. Tak terkecuali di Indonesia, tatanan yang dipamerkan semakin beragam dengan adaptasi dan pemikiran si arsitek menjadikan eksebisi baru dalam menata sebuah perkotaan. Kelokalitasan  menjadi  trend  baru  saat  ini,  pencerminan  bahan  dan teknologi dicoba untuk diperdagangkan dengan moralitas tinggi. Ide klasik ditata dengan tampilan baru yang terkesan glamour menjadikan suasana semu yang penuh misteri itulah lokalitas arsitektur yang modernistis. Tampilan itu menjadikan nuansa baru bagi lingkungan dan masyarakat awam yang melihatnya. Namun, dampak urban-arsitektural pun akan mengganggu sebuah kawasan dengan kontekstual kuat terhadap aspek kultur-historis, yang tentu saja menjadi sebuah hak milik masyarakat yang harus dihormati. Apakah tatanan postmodern telah memberikan jaminan perjalanan bagi karya-karya arsitektur, regionalism dan lokalitas menjadi tantangan yang tentu saja harus diadaptasi agar bisa berjalan berdampingan. Dengan bentuk dan ruang barunya dan untuk menjaga agar tidak   terjadi   keasingan   di   kawasan   baru   tersebut,   maka   tatanan masyarakat urban yang masih tradisionalistik itu perlu dijaga.
Reaksi terhadap tumbuhnya arsitektur yang akhir-akhir ini menjamur di perkotaan telah memperlihatkan gaya dan corak dengan kekhasan masing-masing. Apakah ini menjadikan sebuah gejala arsitektur yang simbolik, atau mereka selalu memikirkan fungsi tanpa melihat rasio dan logika   yang   berkembang.   Seharusnya   mereka   melayani   penghuni perkotaan, yaitu masyarakat yang mempunyai tatanan sosio-budaya- ekonomi dengan kelas menengah bawah yang tidak sama atau berbeda di antara mereka. Kesesuaian antara bentuk dan realitas yang diciptakan para artis dalam hal ini arsitek membaur di dalam tatanan urban yang selalu dinamis. Kesejajaran antara batasan ruang publik terhadap persepsi masyarakat perkotaan menjadi semakin tajam perbedaan nuansa budaya yang diciptakannya. Menjadikan kota sebagai ‘ekspetasi visual’ dibentuk oleh apa yang dinamakan ketidaksesuaian antara objek dan realitasnya.
Dengan kata lain, batas antara fakta arsitektur dengan berjalannya style atau langgam yang dibawanya tampak tegas telah semakin mengabur di era dinamika postmodern’ ini. Perubahan dalam merekonstruksi peradaban arsitektur menjadi bagian untuk mencari kebenaran tampilan fisiknya, sebagai alternatif dalam menelusuri masa lampau. Popularitas arsitektur masa kini dengan beberapa eksperimennya menjadi ilustrasi menarik untuk dikaji. Memiliki masa lampau dan masa depannya sendiri dengan struktur dan elemen-elemennya.


Kebudayaan dan Budaya Popularitas
Kebudayaan adalah sebuah konsep yang definisi sangat beragam. Pada abad ke-19. Istilah ‘kebudayaan’ umumnya digunakan untuk seni rupa, sastra,  filsafat,  ilmu  alam,  dan  musik,  yang  menunjukkan  semakin besarnya kesadaran bahwa seni dan ilmu pengetahuan dibentuk oleh lingkungan sosialnya (Burke 2001:177). Lalu bagaimana dengan arsitektur, bahwa tradisi ber’arsitektur’ tidak bertahan selamanya dan akan terjadi sebuah perubahan di dalamnya. Apakah itu tradisi dalam berbudaya atau sebuah ‘reproduksi budaya’. Penafsiran ulang dalam arsitektur akan mengingatkan pada terjadinya proses di era modernisme yang berproses kemudian masuk menjadi bagian dari era postmodernisme. Dengan demikian, konstruksi dalam budaya ber’arsitektur’ seharusnya lebih dilihat sebagai sebuah masalah arsitektur, bukan yang lainnya dan dibutuhkan sebuah analisis yang lebih rinci. Pada sisi inilah kecenderungan- kecenderungan baru itu memberikan makna pada arsitektur, sehingga kota sebagai  tempat  masyarakat  harus  dilihat  dalam  dua  sisi,  meskipun menurut Rogier Chartier perlu diganti, yaitu ‘sejarah sosial kebudayaan’ (social history of culture) dan yang satunya adalah sejarah budaya masyarakat’ (cultural history of society). (Burke 2001:182) Sebaiknya keduanya hal itu, baik sejarah sosial maupun sejarah budaya tidak saling ditinggalkan, dan dapat digunakan sebagai pendekatan dalam menyelesaikan permasalahan arsitektur diperkotaan.
Akhir-akhir ini banyak gaya bangunan muncul untuk mewakili ciri tertentu dari apa yang dinamakan ‘kebudayaan populer’, yakni sikap-sikap dan nilai-nilai masyarakat awam serta pengungkapannya dalam arsitektur yang mereka maknai sebagai arsitektur ‘kerakyatan’. Perhatian terhadap tinggalan arsitektur akhirnya mencul seperti sebuah ‘puisi kebudayaan’, di tata berjajar dalam sebuah koridor atau jalan, dengan kolase dan warna yang gemerlap, elemen-elemen eklektis menjadi hiasan kemegahan bangunan tersebut. Arsitektur akhirnya menjadi ladang kegagalan akibat eksperimen dari arsitek yang kurang memahami lokalitas (kearifan lokal) dan  budaya  setempat.  Bangunan  yang  dirancang  ditata seperti  etalase, dipertontonkan dengan bentuk dan warna-warninya, dan menjadi bagian kepentingan ekonomi bagi pemilik, arsitek maupun pemerintah kota. Pola- pola kebudayaan  dengan  ekspresi-simboliknya dalam kehidupan sehari- hari  tidak  dimaknai  sebagai  bagian  dari  perjalanan  sejarah.  Bangunan dapat dilihat sebagai habitus’ menurut Arsitoteles, yang didefinisikan sebagai seperangkat skema (tatanan) yang memungkinkan agen-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktik-praktik yang telah diadaptasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi (Burke 2001:179-180). Di sinilah letaknya keterkaitan lingkungan- arsitektur-sosial-budaya menjadi bagian yang harus dan perlu untuk diperhatikan  oleh  arsitek  dan  penentu  kebijakan.  Ilustrasi  hidup  ini menjadi impian perjalanan arsitektur saat ini, meskipun style dan langgam menjadi bagian yang selalu menghantui para arsitek di dalam merencana dan merancang objek arsitekturalnya. Popularitas pasca postmodern menjadi budaya yang semakin digemari dengan komersialisasinya yang berkembang baik di perkotaan maupun di wilayah perdesaan. Budaya masyarakat dikalahkan oleh komersialisasi global dalam bidang ekonomi


menjelajahi  hampir  semua  wilayah  di  Indonesia.  Menjadikan  sebuah budaya yang populer dalam ber’arsitektur’ dengan bentuk permainan- permainan, dengan maksud untuk menggantikan pandangan tradisional bahwa ideologi adalah refleksi dari masyarakat. Rasa identitas (nativisme), menjadi alat agar tampilan bangunan sebagai karya arsitektur ini sangat tergantung kepada keefektifan dalam mempertahankan rintangan dengan cara  mencegah  masuknya  para  arsitek  maupun  paham-pahamnya  dari luar.
Tradisi tidak otomatis bertahan selamanya, ditularkan oleh orang tua kita dulu secara turun-temurun yang sekarang menjadi bagian tinggalan
dari  budaya  masa  lalu.  Perjalanan  arsitektur  yang  direpresentasikan sebagai  perjalanan  peradaban  bangsa  ini  memberikan  banyak memunculkan bentukan fisik, yang saling kontroversial tanpa memahami kesadaran terhadap pentingnya ‘kebudayaan’ itu.   Sebaliknya perubahan kondisi  sosio-kultural  masyarakat  adalah  fakta  sosial  yang  bukan  ilusi tetapi fakta kolektif masyarakat urban. Popularitas arsitektur menjadi gaya trend saat ini, memunculkan bahasa baru dalam budaya ber’arsitektur’, di mana ruang publik sudah tidak lagi memerlukan dimensi artistik sebagai lambang masyarakat modern. Dengan bahan-bahan industri mereka melayani dunia baru yang dikuasai oleh kekuasan sains dan teknologi. Bahwa   di   dalam   kebudayaan   abad   kedua   puluh,   arsitektur   Barat didominasi oleh ekonomi dan teknologi. Brutalisme atau Venturisme, Archigram atau arsitektur rasional operasionalisme atau rasionalisme baru- semua mengandung kesan teknologis. Mereka adalah produk-produk masyarakat teknologis abad kedua puluh (Skolimowski 2004:124-125). Penghargaan akan gaya masa lalu menjadi sirna, gaya modern seolah telah menemukan identitas dirinya dengan membuang segala yang lain dari dirinya. Karena itulah, arsitektur seharusnya menganut keanekaragaman tidak hanya berbicara masalah global, tetapi budaya kelokalan atau dengan kata lain ada yang menyebut ‘regionalisme’, haruslah juga diperhatikan. Menurut Skolimowski (2004:125), kita tidak ingin membangun gedung- gedung yang steril, lingkungan-lingkungan yang bermutu rendah, ruang- ruang yang di dalamnya jiwa manusia dihalangi; kebudayaan kita membuat kita merancang lingkungan-lingkungan dan ruang-ruang semacam itu. Kemudian Skolimowski melanjutkan ada sesuatu yang tersembunyi dan membahayakan di dalam pertunjukan para arsitek yang berbakti, tekun, dan berbakat yang bisa, dan ingin, membangun lebik baik daripada yang diizinkan untuk mereka hasilkan di dalam konteks masa kini.

Dinamika Budaya Ber’arsitektur’
Pergesaran   budaya   dalam   arsitektur   terjadi   akibat   beberapa pendekatan  dalam  tradisional.  Banyak  pengamat  sosial  sepakat  bahwa
dunia Barat sedang mengalami pergeseran atau perubahan. Faktanya kita sedang merasakan perubahan budaya yang berlawanan dengan cirri khas zaman   modern,   yakni   inovasi   yang   lahir   sebagai   reaksi   terhadap kemandulan dan kelumpuhan Abad Pertengahan. (Grenz 2001:8) Hal itu akibat dari kreativitas arsitek sebagai kekuatan aktif yang dilandasi oleh kesadaran akan bagaimana hubungan budaya tersebut dengan masyarakat sekitarnya dapat berlangsung. Arsitektur seharusnya dipandang sebagai


bagian dari konstruksi budaya dalam artian telah terjadi adanya dialektis antara mempengaruhi dan dipengaruhi. Apakah masyarakat yakin bisa menerima  inovasi  baru?  Bagaimana  konsepsi  tradisional  tidak  mampu untuk meyakinkan masyarakat tertentu pada masa sekarang? Bagaimanakah   seorang   arsitek   dapat   mengkonstruksi   konsep   dan pemikiran baru dengan anlisis yang lebih rinci dan menjadi sebuah kajian menarik? Pembangunan bangunan-bangunan baru setelah pasca- postmodern ini memunculkan reaksi bahkan konflik dalam melihat arsitektur sebagai model seni untuk membangun identitas kolektif dengan cara nenampilkan diri secara berbeda dari lingkungan/kawasan di sekitarnya.
Seberapa jelaskah batas-batas budaya yang ada itu dapat dijadikan
patokan-patokan dalam berkarya, dan sampai kapan semuanya dapat bertahan dalam dunia arsitektur ini. Tanda-tanda ekspresi budaya dalam demensi hidup terganjal oleh dinamika fenomena arsitektur yang dibangun berdasar lokalitas. Pemahaman semu ini menjadikan era di mana gagasan, ide-ide, dan nilai-nilai bertahta ketika arsitektur menyeberang dari modern ke postmodernisme, dan seolah-olah kita sedang berpindah kepada sebuah era budaya baru. Budaya ber’arsitektur’ menjadikan kesadaran arsitek sekarang ini berkembang dengan pola pikir masa lalu. Radikalisme dalam meletakkan bangunan dengan segala macam ragam bentuk stylenya tercermin dalam sebuah tatanan bangunan Ruko, yang berkembang atas dasar optimisme ekonomis sebagai tempat mereka (arsitek) untuk bermain. Dinamika ini menjadikan semua wilayah ‘terjajah’ oleh globalisasi ekonomi yang mendominasi masyarakat dewasa ini. Munculnya beberapa apartemen baru dengan berbagai macam sajiannya masing-masing telah menyerbu kehidupan masyarakat sekarang ini. Seolah mereka berpikir bahwa hunian yang   mereka   rancang   yang   menjulang   tinggi   akan   memberikan kenyamanan dengan lingkungan barunya. Sebenarnya komunitas tempat masyarakat berada dengan keanekaragaman dan sikap pluralismenya mempunyai keyakinan bahwa pemahaman akan kebenaran itu dapat hidup berdampingan.
Teori-teori dan pendekatan-pendekatan yang dilakukan para arsitek
perlu ada penyempurnaan bukan petikan atau pengulangan dari karya lain. Bahkan apa yang dinamakan dengan stylistic integrity (integritas gaya) ini, bukan dalam artian menantang kekuatan aturan-aturan yang ada. Akan tetapi menjadi salah satu sikap keragaman arsitektur dalam massa tunggal maupun banyak. Harapannya, budaya pop dalam arsitektur ini sebagai sebuah karya yang tidak terkait waktu dan ide-ide yang tidak dibatasi oleh waktu. Karena arsitektur masa kini menyukai radikalisme bentuk massa bangunan dijadikan sebagai pangung teater, dan membuat berbagai elemen saling berbenturan.
Ciri khas ini akan mempengaruhi budaya populer kita sekarang ini,
mereka kurang bisa menempatakan seni arsitektur bermutu tinggi di atas budaya tersebut. Arsitektur mengikhtisarkan kebudayaan di mana ia merupakan bagian. Di dalam suatu kebudayaan yang maju, arsitektur ikut serta di dalam kemegahan. Kemudian ia mengungkapkan bukan hanya kekokohan dan komoditi tetapi juga kegembiraan. Ketika sebuah kebudayaan  sedang  runtuh  dan  tak  mampu  mempertahankan  corak


khasnya, arsitektur mendapat bagian yang banyak dipersalahkan karena kekurangan-kekurangannya terlihat sangat mencolok dan dialami semua orang (Skolimowski 2004:123-124).Arsitektur menjadi objek yang menarik dan unik, namun hasilnya belum tentu bisa dijangkau oleh masyarakat kelas menengah maupun bawah. Dengan langgam dan elemen-elemen yang dikatakan bernilai seni tinggi, namun hasilnya belum tentu bisa diterima oleh masyarakat awam. Harapannya arsitektur dapat mentautkan dua alam yang berbeda, yaitu profesional dan popularitas di dalam menata budaya masyarakat setempat.



2.3. Simfoni, bukan Cacophony
Banyak arsitek yang bergulat dan main cinta dengan dirinya sendiri, seperti dikeluhkan oleh Rapoport: pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan selera suka dan tidak suka yang subjektif, personal, tan-logis dan tidak kumulatif. Dengan kata lain, tidak didasarkan pada informasi objektif yang terandalkan, studi kepustakaan yang lengkap dan gayut, penelitian mendalam mengenai interaksi manusia dan lingkungan, atau pada teori-teori arsitektur yang teruji.
Dikisahkan oleh Rapoport tentang suatu pengkajian buku mutakhir oleh seorang pelopor teori arsitektur post modern yang menyebutkan bahwa “arsitektur menyangkut perilaku manusia, lingkungan, dan bentuk. Karena saya awam dalam hal perilaku manusia dan lingkungan, saya akan membatasi pembahasan saya khusus mengenai bentuk saja.”
Wah rasanya kilah semacam itu sungguh sulit untuk dipercaya, apalagi buat dimaafkan. Sebab selain berkutat perkara bentuk yang mengandung denotasi eksplisit tentang fungsi, arsitek mau tidak mau harus bicara tentang manusia dan lingkungan berkat konotasi implisit yang menyangkut makna dan simbolisme kolektif yang diembannya.
Sama-sama bentuk dasar kursi yang berdenotasi tempat duduk, misalnya, ada berbagai ragam variasi penampilan kursi karena konotasinya yang berlainan. Kursi pimpinan yang empuk bermahkota penuh ukiran indah pastilah berbeda dengan kursi bawahannya yang serba keras, polos, dan lugu.
Dalam skala yang lebih luas, adanya keserbaragaman sektor formal-informal, modern-tradisional, elitis-populis, kontemporer-konvensional, dan lain-lain yang mewarnai arsitektur dan lingkungan di Indonesia mesti diterima dengan kepala tegak berlapang dada. Sedapat mungkin semua itu diaransir menjadi simfoni yang laras, dan bukan sekadar dikotak-kotak untuk kemudian dicampur aduk menjadi cacophony yang kacau balau.
Lingkungan perkampungan kumuh, kaki lima, pasar, kendaraan jenis ketiga atau keempat, dan lain-lain yang serba hemat energi, akrab dengan udara terbuka, berkemampuan adaptasi tinggi, menjangkau mayoritas masyarakat yang papa, sepantasnya mendapat perhatian yang lebih proporsional dari para arsitek. Terutama Arsindo yang menduduki peran sebagai penentu kebijakan. Kiranya sulit disangkal bahwa arsitek kaki telanjang yang solider terhadap rakyat kecil dan terpanggil jiwanya untuk bergelut memecahkan masalah-masalah yang dihadapi bagian terbesar masyarakat kita, masih termasuk kategori barang langka.
Senada dengan kecaman Arifin C. Noor, kebanyakan arsitek kita di samping arsitek kota adalah juga arsitek borjuis.

2.4. Pelihara rakyat
Misi yang disandang oleh arsitek memang tidak tanggung-tanggung: tidak hanya melayani apa yang diharapkan dan dibutuhkan sekarang, melainkan juga memberikan apa yang belum diharapkan.
Pinjam kata-kata Umar Kayam, arsitektur sebagai salah satu ungkapan budaya tidak hanya diartikan sebagai ekspresi kemampuan manusia dalam menciptakan sarana-sarana untuk mewakili dan menjaga kelangsungan hidupnya, tetapi juga diartikan sebagai ekspresi manusia dalam menciptakan sarana-sarana itu menjadi prasarana untuk perkembangan selanjutnya.
Karya arsitektur Indonesia yang baik, di samping mampu memenuhi trinitas Vitruvius, juga memiliki potensi antara lain untuk lebih memperkaya jiwa, mengguyub-rukunkan masyarakat, menangkal timbulnya kecemburuan sosial, memberikan peluang guna pembauran, dan mewadahi perkembangan tuntutan kehidupan masyarakat yang selalu meningkat. Semua itu dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan mensejahterakan masyarakat, tanpa kecuali.
Dus, manakala ada arsitek yang berperan kunci dalam bidang pemukiman/real estate, dan hasil karya perencanaan lingkungannya menyengsarakan rakyat, misalnya dalam bentuk: air bersihnya ternyata kotor, fasilitas umum terutama lapangan terbuka atau tempat bermain kurang memadai, lingkungannya rawan terhadap banjir, atau menciptakanenclave yang eksklusif, alergi terhadap pencampuran dengan masyarakat sekitar, dan semacamnya, berarti bahwa dia tidak sepolos hati mengemban misinya yang luhur demi kepentingan masyarakat banyak dan generasi penerusnya.
Para arsitek mesti ingat petatah petitih: “Berkata peliharalah lidah, berjalan peliharalah kaki... berencana peliharalah rakyat.” Dan dalam kehidupan praktiknya, arsitek memang makin dituntut untuk lebih daripada seorang arsitek. Sering dia “terpaksa” harus berpikir dan bertingkah sebagai seorang sosiolog, ekonomi, psikolog, dan bahkan antropolog sekaligus. Ini bisa dianggap sebagai beban, tetapi bisa juga sebagai kehormatan sekaligus tantangan.

2.5. Dwicakap
Arsitek sering dituding sebagai “inarticulate person”, alias orang yang sulit ditangkap apalagi dicerna gagasan dan pokok-pokok pikirannya. Entah karena pandangan garda depannya yang terlalu utopian (atau justru menoleh balik mundur jauh ke belakang), atau bahasanya yang terlalu canggih, atau memang karena tidak bisa menuturkan idenya secara urutan, dan runtut.
Padahal, karena pada hakekatnya “designing is a reflective conversation” (Donald Schon), seyogyanya arsitek banyak melakukan dwicakap baik antara arsitek sendiri, antara arsitek dan profesional di bidang lain, para penentu kebijakan dan masyarakat luas. Penekanannya adalah dwi-cakap yang setara dan interaktif jadi bukan dalam bentuk pidato, penyuluhan, pengarahan, atau instruksi yang sifatnya satu arah.
Hemat saya, melalui wahana dwicakap yang intensif dan ekstensif inilah baru bisa dirumuskan secara tepat masalah yang nyata-nyata dihadapi dan perlu dipecahkan. Kata orang arif, perumusan masalah yang tepat berarti sudah setengah memecahkan masalah. Erich Mendelsohn pernah mengatakan bahwa problema utama dalam arsitektur adalah “the finiteness of mechanics and the infiteness of life.” Nah, untuk menilik perikehidupan yang tak terbatas itulah sangat diperlukan dwicakap yang demokratis dan sinambung, dituntaskan dengan penelitian lapangan yang baik dan benar.
Yang tidak kalah pentingnya, hasil-hasil dwicakap dan penelitian tersebut seyogyanya direkam dalam bentuk tulisan dan disebarluaskan melalui berbagai media. Budaya tulisan harus segera melengkapi budaya lisan. Kalau tidak, kita akan selalu berputar-putar di sekitar masalah yang sama, tanpa bisa melesat ke luar dari kurungan yang menyelubungi kita.
Akibat selanjutnya, pakar dari disiplin lainlah yang akan banyak bicara dan menulis perkara arsitektur, lingkungan binaan, dan perkotaan. Tanpa penelitian, perkembangan arsitektur akan mandek, tidak akan muncul teori baru, dan tamat pulalah kedudukannya sebagai suatu cabang ilmu. Cukup puas dipatok sebagai keterampilan saja. Ini akan sangat disayangkan, mengingat bahwa sistem pendidikan arsitektur yang telah berlangsung berpuluh-puluh tahun dinilai inovatif dipakai sebagai model bagi pendidik lain dan telah mempraktikkan apa yang dituntut oleh pendidikan radikal seperti Ivan Illich, Jean Piaget, dan Jerome Bruner, yaitu mensenyawakan ilmu dan profesi, pengetahuan dan tindakan, teori dan aplikasi.

2.6. Apresiasi dan Kritik Arsitektur
a. Apresiasi arsitektur
Tidak hanya masyarakat pemakai arsitektur, para arsitek sendiri juga perlu ditingkatkan apresiasinya terhadap karya-karya arsitektur.
Makin tinggi tingkat apresiasi seseorang, akan semakin tinggi pula intensitas penikmatannya. Selain kegiatan melatih apresiasi dalam bentuk pameran, penerbitan buku semacam “Karya Arsitektur Arsitek Indonesia”, diskusi dan ceramah ilmiah, perlu pula mulai dirintis pembudayaan kritik arsitektur. Kritik yang dimaksud tidak hanya kritik akademis yang mempertanyakan landasan teori yang sudah terlanjur mapan, atau memperbaharui teori yang ada, juga tidak sekadar evaluasi baik buruk dari suatu karya arsitektur (yang menuding di mana letak keberhasilan dan di mana titik-titik lemahnya), melainkan juga kritik yang mengupas, memberi dan menjelaskan nilai-nilai, lambang-lambang, dan dimensi tersembunyi yang terkandung di dalamnya. Hal yang tidak kasat mata, yang memberikan napas dan menjiwai suatu karya itulah yang lebih perlu untuk diresapi dari pada sekadar bentuk fisik saja, seperti kecenderungan yang mengarus deras dewasa ini.
Apresiasi artinya penghargaan, jadi apresiasi arsitektur pada intinya adalah penghargaan kepada arsitektur. Untuk menghargai arsitektur bisa dijalankan secara dangkal sampai dalam. Secara dangkal dilakukan dengan menikmatinya sebagai obyek yang bagus untuk dilihat atau dikunjungi, sedangkan secara dalam dilakukan dengan melakukan pengamatan, pengukuran, dokumentasi sampai pada pengulasannya hingga menghasilkan sebuah karya ilmiah. Walaupun dikatakan sebagai penghargaan, tetapi hasil apresiasi tidak selalu berupa pujian atau komentar yang positif. Bisa jadi penghargaannya dalam bentuk kritik atau komentar yang negatif mengenai kekurangan yang disajikan oleh arsitektur.
Dalam menghargai arsitektur, paling sederhana seseorang akan melakukan pemilihan arsitektur mana yang akan dikunjungi bersesuaian dengan kebutuhannya. Untuk memenuhi kebutuhan relaksasi, orang dapat memilih arsitektur yang menyajikan aktivitas sebagai kafe, gedung bioskop, taman kota dan sejenisnya. Dalam satu sajian aktivitas oleh arsitektur ini bisa terdapat pilihan mengenai bentuk dan suasana yang disajikan. Misalnya jika di suatu kota terdapat beberapa kafe yang menawarkan tampilan arsitektur, maka orang dapat memilih yang sesuai kebutuhannya, misalnya tampilan retro, ataukah tampilan tradisional, atau lebih suka tampilan yang alami. Untuk penghargaan yang lebih serius, orang dapat melakukan penelitian terhadap obyek arsitektur yang dipilih. Pemilihan ini tentunya bersesuaian dengan bidang penelitian yang akan dikerjakan dan dipertimbangkan terhadap penelitian lain yang serupa.
Kegiatan apresiasi arsitektur yang ditujukan untuk dapat menghasilkan sebuah karya ilmiah membutuhkan kajian yang menentukan kualitas capaian hasil. Dengan demikian diperlukan metoda untuk melakukannya menyangkut persiapan, ketersediaan alat, sampai pada kelengkapan literatur untuk pembahasannya. Begitu metoda ini ditetapkan, maka hal yang penting untuk dipahami adalah kesiapan individu yang akan melakukan kegiatan apresiasi arsitektur. Arsitektur sebagai sebuah sajian bangunan yang menghasilkan kesan dan suasana, dapat direspon dengan pendayagunaan indera dari seseorang. Pemahaman umum mengenai indera manusia untuk menikmati arsitektur hanyalah pada indera mata. Padahal kenyataannya ketika orang berhadapan dengan arsitektur, maka indera yang lain juga ikut merespon, misalnya kulit untuk merasakan hawa dan hembusan angin, atau meraba tekstur dari suatu elemen arsitektur. Demikian juga telinga dapat mendengar gemericik air dalam sebuah kolam hias, atau gaung suara dari sebuah ruangan. Di sisi lain secara ekstrim, selayaknya kehadiran arsitektur itupun juga bisa dirasakan dan dibedakan kualitasnya oleh orang yang buta, walaupun pertimbangan desain arsitektur tetap diterapkan umumnya untuk manusia yang normal.
Adakalanya indera manusia tidak bisa dijadikan acuan berapresiasi secara tepat karena bersifat subyektif. Seseorang yang selama hidupnya tinggal di daerah dingin, akan merasakan penghawaan yang berbeda dengan seseorang yang selama hidupnya tinggal di daerah panas. Dalam kasus ini, dapat dicarikan acuan dan alat untuk mengapresiasinya. Misalnya telah ada riset yang menyatakan bahwa suhu nyaman dari ruang itu adalah 27 derajad, maka tinggal diukur saja dengan thermometer apakah suhunya kurang atau lebih dari 27 derajad. Kesimpulannya bahwa selain indera manusia untuk mengapresiasi, maka peralatanpun juga penting untuk dipergunakan jika memang diperlukan. Selanjutnya peralatan ini dapat dipilih dan dipergunakan sesuai kebutuhan, apakah berupa meteran, kompas, drum pengukur intensitas cahaya, higrometer untuk mengukur tingkat kelembaban suatu tempat, dan lain sebagainya.
Subyektifitas untuk mengapresiasi artitektur ini juga bisa terjadi karena perbedaan wawasan atau pengalaman dari apresiator. Seorang arsitek akan berbeda cara mengapresiasi obyek arsitektur jika dibandingkan dengan orang awam atau pengguna arsitektur (user). Seorang arsitek bisa menelaah ketidak sesuaian langgam antara pilar bergaya bali yang dipadu dengan umpak yang bergaya jawa, sedangkan pengguna (user) mungkin hanya akan merasakan kurang enak dilihat, atau mungkin juga tidak merasakan dan lepas dari perhatiannya. Seorang pengguna mengapresiasi suhu ruang yang tidak terlalu nyaman, sedangkan seorang arsitek akan menganalisis ketidak nyamanan tersebut karena penghawaan yang kurang ataukah karena radiasi panas matahari yang tidak diantisipasi dengan elemen arsitektur. Akan tetapi perlu dipahami bahwa kadang seorang arsitek perlu pula mempertimbangkan pendapat dari user untuk berapresiasi. Seringkali arsitek melakukan penelitian dan menyebar kuisioner untuk menerima dan mempertimbangkan pendapat pengguna atas kasus dari tampilan arsitektur tertentu.
Pengguna arsitektur hanya berkepentingan untuk menikmati karya arsitektur. Bagaimana sajian dari bentuk dan ruang yang menyampaikan keindahan serta dapat menampung kenyamanan aktifitas. Agar seorang arsitek bisa mendapat informasi yang baik, maka selayaknya ketika berapresiasi bisa mensimulasikan dirinya sebagai pengguna. Menikmati arsitektur dengan mengerahkan segenap potensi diri dari segi fisik dan mental. Bersantai dengan serius merekam segala kejadian yang ada di sekelilingnya, menerima stimulus dan memberi respon mengalir mengikuti kejadian. Simulasi seorang arsitek sebagai pengguna ini seperti sikap empati dari seorang arsitek terhadap masyarakat yang menikmati hasil karya arsitektur tanpa terbebani ilmu-ilmu arsitektur. Sungguh sesuatu yang sulit bagi seorang arsitek yang sudah terbiasa terisi pengetahuannya dengan berbagai macam teori dan informasi arsitektur, kemudian di saat berapresiasi berusaha membersihkannya hingga pemikirannya menjadi seperti hamparan kertas kosong yang siap ditulisi.
Ketika seorang arsitek berapresiasi kadangkala terpengaruh dengan popularitas karya arsitektur yang sedang dikunjunginya, atau bahkan terpengaruh oleh popularitas dari arsitek yang mendesainnya. Pengaruh-pengaruh ini sedikit banyak pasti akan mengotori kejernihan penelaahan. Pengaruh lain yang mungkin akan mengganggu kejernihan penelaahan tersebut bisa bersumber pada kondisi psikologis dari apresiator sendiri, misalnya kegundahan hati atau trauma pikiran pada hal tertentu. Adakalanya kolam yang luas dengan air yang tenang bisa menenangkan jiwa dari orang yang melihatnya, tetapi tidak demikian dengan orang yang punya trauma pikiran tidak menyenangkan terhadap air. Dengan demikian kontrol perasaan memang mutlak diperlukan dalam berapresiasi. Kontrol yang bisa membedakan bahwa perasaan yang muncul itu akibat subyektifitas diri atau memang muncul akibat paparan kesan dan suasana dari arsitektur yang dikunjunginya. Kontrol perasaan ini akan lebih tertata rapi ketika pikiran ikut pula berperan dalam menentukan penelaahan. Tetapi tentunya justru jangan sampai pikiran yang akhirnya mendominasi perasaan. Akan lebih baik jika pikiran dan perasaan ini bsa saling mengisi dalam porsi yang setimbang.
Salah satu cara untuk mengontrol perasaan dengan pikiran adalah melalui kemampuan untuk membaca karya arsitektur. Segenap teori dan konsep arsitektur yang dipergunakan untuk menelaah dihindarkan dari segala doktrin, misalnya bahwa ‘golden section’ itu selalu indah, atau konsep ‘less is more’ dengan ketiadaan yang dianggap memiliki kelebihan. Teori dan konsep arsitektur yang dipergunakan untuk mengapresiasi dipilih secara mendasar saja, mengetahui bahwa proporsi merupakan perbandingan dari satu bagian dengan bagian yang lain. Jika hasilnya dirasakan indah, maka bisa diungkapkan sewajarnya keindahan tersebut tanpa dihubungkan dengan ‘golden section’. Demikian pula ketika merasakan bahwa tektonika adalah seni dalam mengolah struktur dan konstruksi, di mana akhirnya mendapatkan sebuah ukiran dan tekstur yang indah, maka selayaknya dikatakan indah pula tanpa terpengaruh konsep ‘less is more’.
Ketika seorang apresiator sudah bisa membaca obyek arsitektur, langkah selanjutnya adalah kemampuan untuk menilai. Obyektifitas dalam penilaian ini juga selayaknya terhindarkan dari popularitas karya arsitektur dan popularitas dari arsitektnya. Memang biasanya arsitek yang populer karena kualitasnya akan menghasilkan desain yang berkualitas pula, sehingga arsitektur hasil karya mereka demikian keratif dan indah untuk diapresiasi. Namun jika apresiator karya dari arsitek berkualitas itu terpengaruh dengan popularitas arsitek, dia tidak akan dapat menemukan satu atau dua titik kelemahan dari desain arsitektur. Demikian pula ketika melakukan apresiasi terhadap obyek arsitektur dari arsitek biasa yang kurang populer, jika terpengaruh mungkin tidak akan mendapatkan hasil yang menakjubkan walau kemudian ada satu bagian arsitektur yang memaparkan hasil ide kreatif dan indah. Dalam menilai karya arsitektur, selayaknya apresiator cukup memiliki prinsip untuk menentukan tolok ukur penilaiannya. Entah berdasarkan teori baku mengenai arsitektur yang telah dipaparkan oleh penulis arsitektur yang sudah ahli, atau dengan tolok ukur yang dibuat sendiri berdasarkan situasi penilaian tertentu.
Adakalanya kegiatan apresiasi dilakukan tidak pada satu obyek, tetapi bisa dua atau lebih obyek dengan tujuan untuk membandingkannya. Dalam melakukan studi banding ini selayaknya mempertimbangkan kualitas dari obyek arsitektur yang dipilih untuk dibandingkan. Lebih baik menilai secara umum terlebih dahulu obyek yang akan dibandingkan dan menetapkan bahwa yang akan diapresiasi itu kualitasnya dapat sesuai dengan kedalaman ilmu yang dibutuhkan. Selanjutnya pemilihan juga perlu dipertimbangkan berdasarkan topik dan tujuan pembandingannya. Penulisan pembandingan obyek arsitektur yang tersusun secara sistematis akan mempermudah, memperjelas dan mengarahkan agar yang dilakukan dapat menghasilkan sebuah kesimpulan berguna. Kesimpulan dari hasil apresiasi dengan membandingkan obyek ini dapat menjadi wacana bersama untuk dipergunakan sesuai keperluan dari kegiatan desain arsitektur. Dengan seringnya membandingkan obyek-obyek arsitektur akan dapat didapatkan wawasan yang lebih luas, baik dari pertimbangan perkembangan waktu dan teknologi terciptanya karya arsitektur, ataupun dari karakteristik desain dari pribadi arsitek-arsitek berkualitas yang mendesain.
Telah di sebutkan sebelumnya bahwa kegiatan apresiasi arsitektur bisa dilakukan dengan dangkal ataupun dalam. Untuk studi banding obyek arsitektur yang berjumlah banyak, mungkin bisa dipilih kegiatan apresiasi yang tidak terlalu mendalam, karena tujuannya memang untuk mencari kesimpulan dari karakteristik beberapa obyek. Bahkan kegiatan apresiasi yang dilakukan juga bisa dilakukan secara virtual, yakni dengan mengamati foto-foto atau film tentang obyek arsitektur. Apresiasi arsitektur secara virtual ini bisa dilakuakn dengan mengumpulkan data baik dari buku, majalah maupun data web di internet. Atau jika seorang apresiator memiliki kendala untuk mengunjungi obyek secara langsung bisa menyuruh surveyor untuk mengambil foto-foto atau film sesuai dengan arahannya berdasarkan kebutuhan. Seorang yang ahli bisa saja menempati posisi sebagai pimpinan apresiator yang tidak terjun langsung ke lokasi, dan mengendalikan beberapa orang apresiator junior yang turun ke lapangan untuk mencari data. Sepertinya memang apresiasi arsitektur secara riil itu lebih baik daripada secara virtual, tetapi hal ini juga bukan merupakan jaminan karena belum tentu sesuatu yang dihasilkan dari apresiasi riil itu akan lebih baik dari apresiasi virtual pula.
Hasil kegiatan apresiasi arsitektur dapat dituangkan dalam beragam karya, dari yang bersifat seni sampai pada karya yang bersifat ilmiah. Karya seni hasil apresiasi arsitektur dapat berupa karya fotografi, sketsa sampai pada karya sastra berupa puisi atau cerita. Sedangkan karya ilmiah bisa berupa artikel, penelitian sampai pada buku. Buku yang baik adalah buku teks (textbook) karena bisa dipergunakan sebagai literatur yang valid bagi pembuatan karya ilmiah yang lain. Sedangkan buku populer yang dibuat tanpa mengindahkan kaidah penulisan buku ilmiah mungkin hanya akan menjadi pelengkap dari bacaan biasa saja.










b. Kritik Arsitektur
Metode kritiknya bisa menggunakan metode Ganzheit yang memulai dari pemahaman atas keseluruhan atau totalitas karya, maupun metode analitis yang memulai dari pemahaman, pemerian, dan penganalisisan setiap unsur atau komponen pembentuk karya tersebut. Memang agak disayangkan bahwa arsitek Indonesia yang ketimuran ini, sebagaimana halnya dengan orang Timur pada umumnya sangat sopan santun, penuh dengan tenggang rasa. Tidak tega melontarkan kritik yang telah secara terbuka, lebih suka berdesas-desus di belakang panggung. Memang barangkali lebih nikmat, akan tetapi jelas tidak mendidik.
Melalui wahana kritik konstruktif yang gamblang, dengan bahasa yang komunikatif mudah dicerna, tanpa perlu terjerumus ke pendangkalan, kiranya semua pihak dapat saling belajar. Di satu pihak kesuksesan dan keberhasilan dapat semakin ditingkatkan, sedangkan di lain pihak kegagalan yang telah terlanjur tidak akan terulang.
Jika upaya membudayakan apresiasi dan kritik ini sudah bisa dirintis, diharapkan kesenjangan persepsi dapat dijembatani dan penilaian yang serba nisbi atas dasar selera subjektif dapat diberi bingkai yang jelas dalam bentuk pakat dan kesamaan bahasa. Tak akan ada lagi yang berani berujar bahwa kuda yng dicat belang itu namanya juga zebra.
Kritik Arsitektur adalah merupakan rekaman dari tanggapan terhadap lingkungan buatan (built environment). Kritik meliputi semua tanggapan termasuk tanggapan negatif dan pada hakekatnya kritik bermaksud menyaring dan melakukan pemisahan.


Metode kritik arsitektur terdiri dari :
·                     Kritik Normatif; kritik ini berdasarkan pada pedoman baku normatif.
·                     Kritik Penafsiran atau Kritik Interpretif; kritik ini merupakan penafsiran dan bersifat pribadi.
·                     Kritik Deskriptif; bersifat tidak menilai, tidak menafsirkan, semata-mata membantu orang melihat apa yang sesungguhnya ada, menjelaskan proses terjadinya perancangan bangunan.
Kritik Interpretif (Interpretive Criticism) 
• Kritikus sebagai seorang interpreter atau pengamat yang sangat personal
•Bentuk kritik cenderung subjektif namun tanpa ditunggangi oleh klaim doktrin, klaimobjektifitas melalui pengukuran yang terevaluasi.
• Mempengaruhi pandangan orang lain untuk bisa memandang sebagaimana yang kita lihat
• Menyajikan satu perspektif baru atas satu objek atau satu cara baru memandang bangunan
(biasanya perubahan cara pandang dengan “metafor” terhadap bangunan yang kita lihat)
• Melalui rasa artistiknya mempengaruhi pengamat merasakan sama sebagaimana yang ia alami
•Membangun satu karya “bayangan” yang independen melalui bangunan sebagaimana miliknya, ibarat sebuah kendaraan. 

         Kritik ini tidak diposisikan sebagai bentuk penghakiman (judgement) sebagaimana yang terjadi pada Normatif Criticism.
         Bentuk kritiknya lebih kepada sekadar anjuran yang mencoba bekerja dengan penjelasan lebih    terperinci yang kadangkala juga banyak hal yang terlupakan
         Isi kritik tidak mengarahkan pada upaya yang memandang rendah orang lain
         Kritikus mencoba menyajikan satu arah topik yang dipandang perlu untuk kita perhatikan secara bersama tentang bangunan
• Kritikus membantu kita untuk melihat manfaat yang telah dihasilkan oleh sang arsitek melalui bangunannya dan berusaha menemukan pesona dimana kita telah mengira ia hanyalah sebuah objek yang menjemukan
• Dalam hukum advocatory Criticism, kritiknya tercurah terutama pada usaha mengangkat apresiasi pengamat